Thursday 12 September 2019


Klasifikasi Bahan-Bahan Kimia

Menurut PP No  74 Tahun 2001, Klasifikasi Bahan-Bahan Kimia:
1.     Mudah meledak (explosive);
2.     Pengoksidasi (oxidizing);
3.     Sangat mudah sekali menyala ( extremely flammable );
4.     Sangat mudah menyala ( highly flammable );
5.     Mudah menyala (flammable);
6.     Amat sangat beracun (extremely toxic );
7.     Sangat beracun ( highly toxic);
8.     Beracun (moderately Toxic );
9.     Berbahaya (harmful );
10. Korosif (corrosive);
11. Bersifat iritasi (iritant);
12. Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
13. Karsinogenik (carcinognenic );
14. Teratogenik (teratogenic);
15. Mutagenik (mutagenic).

1.       Mudah meledak (explosive)
Mudah meledak (explosive) adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.

2.       Pengoksidasi (oxidizing)
Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria bahan pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai bahan pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.

3.       Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)
Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) adalah bahan baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala di bawah 0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35oC.

4.       Sangat mudah menyala (highly flammable)
Sangat mudah menyala (highly flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 0oC – 21oC.

5.       Mudah menyala (flammable)
Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :
a.                 Berupa cairan
Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 60oC (140oF) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode “Closed-Up Test”.
b.              Berupa padatan
Bahan yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padatan diklasifikasikan Bahan mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode “Seta Closed-Cup Flash Point Test” diperoleh titik nyala kurang dari 40oC.

6.       Beracun (moderately toxic)
Bahan yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.

Gambar 1. Tingkatan Racun B3

7.       Berbahaya (harmful)
Berbahaya (harmful) adalah bahan baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.

8.       Korosif (corrosive)
Bahan yang bersifat korosif mempunyai sifat antara lain :
(1) Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit;
(2) Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC;
(3) Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.

9.       Bersifat iritasi (irritant)
Bersifat iritasi (irritant) Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.

10.   Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)
Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment) bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
     Karsinogenik (carcinogenic) adalah sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.
 Teratogenik (teratogenic) adalah sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.
  Mutagenik (mutagenic) adalah sifat bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.

11.   Klasifikasi berdasarkan label
      Beberapa perusahaan bahan kimia telah memberi simbul dan label tentang sifat bahan kimia dan tingkat bahayanya.
Gambar 2. National Fire Protection Association (NFPA)  



Friday 6 September 2019

THICKENING

Thickening merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengurangi volume lumpur dengan cara membuang supernatannya sekaligus  meningkatkan  konsentrasi padatan  di  dalam  lumpur. Proses  ini  dapat  dilakukan menggunakan  peralatan  antara  lain  gravity  thickener,  gravity  belt thickener, rotary drum, separator, centrifuge, dan flotator.
Sludge  thickening  adalah  alat  yang  berfungsi  untuk mengurangi kadar air (liquid) dalam lumpur, sehingga menambah kandungan  solid  (padatan)  dalam  lumpur.  Jika konsentrasi solid dalam lumpur semula sebesar 2% maka setelah thickening, konsentrasi padatan dalam lumpur akan bertambah menjadi 5%.
      Thickening terbagi atas 3 macam, yiatu:
1.      Gravity Thickening
2.      Centrifuge Thickening
3.      Flotation Thickening

Gambar 1. Proses Thickening

 1.   Gravity Thickening
 Metode  mengandalkan  pada  prinsip  gravitasi untuk memisahkan air dari dalam lumpur. Tujuannya untuk mengkonsentrasi solid underflow dan mereduksi volume lumpur Aliran lumpur berasal dari sistem aerasi diarahkan ke pusat dengan baik  dan  di desain  sedemikian rupa.
Sampah  yang  dikumpulkan  di  bagian  bawah tangki  diperbolehkan  untuk  menetap,  menjadi  memadat dan kemudian  dipompa  keluar  dari  pipa  outlet limbah bawah. Biasanya  ada bendungan dan saluran untuk air keluar dan meluap, gerakan berputar  melingkar  untuk  menciptakan  efek  pengadukan  lambat.  Hasilnya  dengan  melakukan  ini  maka  akan memastikan  bahwa  pemadatan  akan  terjadi  dan  mendapatkan lumpur  untuk  menuju ke  bawah.
Gravity thickening biasanya dalam bentuk silinder dengan kedalaman ±3.00 meter dengan dasar berbentuk kerucut untuk memudahkan pengurasan lumpur dengan waktu detensi selama 1 hari. Tujuan penggunaan adalah mengurangi volume lumpur hingga (30-60)% dan mengkonsentrasikan solid underflow. Gravity thickener berbentuk lingkaran menyerupai bak sedimentasi.
Gambar 2. Gravity thickener

2.     Centrifuge Thickening
     Centrifuge ini dapat digunakan pada tahapan thickening. Merupakan percepatan dari proses sedimentasi dengan bantuan gaya sentrifugal dan bekerja secara kontinyu. Centrifugation dibagi menjadi tiga yaitu solid bowl decanter, basket type, dan nozzle separator.
Gambar 3. Centrifugation Thickener

3.        Flotation Thickening
        Flotation thickening merupakan salah satu metode mengurangi volume lumpur dengan
cara flotasi. Gelembung udara > dilarutkan dengan tekanan tinggi > tekanan dibebaskan >
gelembung udara naik > menempel pada gumpalan lumpur > naik ke permukaan atas bak > 
lumpur terkonsentrasi & tersisihkan   Tekanan tipikal pada reaktor ini sebesar (345-483) kPa
atau (3,4-4,8) atm. Variabel utama :
a.        Rasio resirkulasi
b.       Konsentrasi solids influen
c.        Rasio udara/solids
d.       Kecepatan pembebanan hidrolis
Gambar 4. Flotation Thickener






PENYEBAB PENYAKIT MALARIA

  Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit yang disebut plasmodium. Parasit tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara nyamuk Anopheles sp. betina dan berkembang biak di hati lalu menginfeksi sel darah merah (DepKes, 2003). Terdapat empat jenis spesies protozoa yang menyebabkan penyakit malaria, antara lain Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Jenis parasit Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi malaria yang dapat menyebabkan kematian (Harijanto, 2011). Infeksi dari parasit tersebut mengakibatkan tubuh menjadi kejang dan koma. Apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat dalam waktu 24 jam maka prognosis untuk infeksi Plasmodium falciparum akan berakhir dengan kematian (Medical Disability Guidelines, 2009).

1. Nyamuk Anopheles sp.
   Malaria merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. Di dunia terdapat ± 20 spesies Anopheles sp. yang menjadi penular malaria, 17 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Nyamuk penyebab malaria umumnya menggigit manusia pada malam hari, penularan akan lebih intensif terjadi di daerah yang memungkinkan plasmodium dapat berkembang biak dengan baik dan nyamuk lebih menyukai darah manusia dibandingkan darah hewan.
Klasifikasi nyamuk Anopheles sp. secara umum seperti berikut ini:
Kingdom : Animalia
Filum : Invertebrata
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culcidae
Genus : Anophelini
Spesies : Anopheles sp.

Gambar 1. Nyamuk Anopheles Sp.

2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles sp.
  Nyamuk merupakan jenis serangga yang mengalami metamorfosis secara sempurna karena mengalami empat tahap dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Tahapan yang dialami yaitu tahap telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Telur nyamuk akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari pada suhu 20-40 °C. Faktor yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva, antara lain suhu, tempat, keadaan air, dan kandungan zat makanan. Pada kondisi yang optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari. Proses pupa menjadi nyamuk dewasa selama 2-3 hari sehingga waktu yang dibutuhkan dari telur hingga mnejadi nyamuk dewasa yaitu 7-14 hari (Hoedojo, 1998).
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles sp. betina

Wednesday 26 June 2019

TINJAUAN UMUM TENTANG BBPOM MATARAM

   
1. Visi dan Misi Balai Besar POM
    Visi Balai Besar POM :
    Dalam menghadapi dinamika lingkungan dengan segala bentuk perubahannya, maka segenap jajaran BBPOM di Mataram bercita-cita untuk mewujudkan suatu keadaan ideal bagi masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu ‘’Obat dan Makanan Aman Meningkatkan Kesehatan 
    Misi Balai Besar POM : Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata sesuai dengan penguatan peran BBPOM di Mataram. Adapun misi yang akan dilaksanakan sesuai dengan peran Balai Besar POM di Mataram tersebut untuk periode 2015-2019, adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis resiko untuk melindungi masyarakat
b. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan
c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BBPOM di Mataram

2. Tugas dan Fungsi Balai Besar POM 
    Balai Besar POM (BBPOM) di Mataram merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI) sesuai Surat Peraturan Kepala Badan POM RI nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM RI.
    Tugas Balai Besar POM:
    Tugas BBPOM Mataram adalah melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.
    Fungsi Balai Besar POM:
a. Menyusun rencana dan program pengawasan Obat dan Makanan.
b. Melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penillaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.
c. Melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu produk secara mikrobiologi.
d. Melaksanakan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi.
e. Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum.
f. Melaksanakan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM RI.
g. Melaksanakan kegiatan layanan informasi konsumen.
h. Mengevaluasi dan menyusun laporan pengawasan Obat dan Makanan.
i. Melaksanakan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
j. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM RI, sesuai dengan bidang tugasnya.

3. Budaya Organisasi Balai Besar POM 
    Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas serta menjadi semangat dalam berkarsa dan berkarya:
a. Profesional
    Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi.
b. Integritas
    Konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menunjang tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.
c. Kredibilitas
    Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan internasional.
d. Kerjasama
    Tim Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik.
e. Inovatif
    Mampu melakukan pembaruan dan inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi terkini.
f. Responsif/ Cepat Tanggap
    Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.

4. Program Utama Balai Besar POM 
    Program utama yang dilakukan oleh Balai Besar POM Mataram adalah:
a. Program Pengawasan Obat dan Makanan
b. Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis lainnya
c. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Balai Besar POM di Mataram

Wednesday 1 May 2019

Polimerisasi Heme

Polimerisasi Heme

      Polimerisasi heme merupakan salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria yang merubah hem menjadi hemozoin. Plasmodium mengubah hemoglobin eritrosit menjadi asam amino dan heme. Asam amino diperlukan Plasmodium untuk kelangsungan hidupnya sedangkan heme bersifat toksik bagi Plasmodium serta diubah menjadi hemozoin dan disimpan dalam vakuola digestifnya. Hemozoin tersebut akan dilepaskan dalam darah saat Plasmodium pecah menjadi merozoit dan skizon. Penghambatan polimerisasi heme menjadi hemozoin ini telah digunakan sebagai langkah awal uji aktivitas antimalaria (Basilico dkk., 1998). 
   Selama perkembangan di dalam sel eritrosit inang, Plasmodium mendegradasi hemoglobin sel eritrosit tersebut untuk menghasilkan produk katabolik sebagai sumber asam amino. Proses degradasi hemoglobin ini terjadi di dalam vakuola Plasmodium dan dikatalisis oleh enzim sistein dan aspartate proteinase. Proses tersebut menghasilkan heme bebas bersifat toksik dan oksidatif terhadap sel inang dan Plasmodium serta dapat mengakibatkan kematian bagi Plasmodium tersebut (Basilico dkk., 1998). Plasmodium tidak mampu memecah heme menjadi cincin tetra pirol terbuka yang mudah untuk diekskresikan karena ketiadaan heme oksigenase. Efek toksik ini diatasi oleh Plasmodium dengan mendetoksifikasi heme bebas dengan cara netralisasi dengan protein kaya histidin, degradasi dengan kristalisasi menjadi hemozoin, suatu pigmen malaria tidak larut air yang diproduksi dalam vakuola makanan (Huy dkk., 2007). 
    Senyawa β-hematin (Gambar 1.) merupakan suatu kristal heme sintesis yang mempunyai stuktur kimia sama dengan hemozoin. Penggunaan spektrofotometer FTIR dapat menunjukkan adanya ikatan antara ion besi-karboksilat dari dua molekul heme dalam hemozoin telah sama dengan analognya, yaitu β-hematin (Wood dkk., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro, penghambatan pembentukan βhematin adalah target ideal suatu agen antimalaria. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan β-hematin yaitu suhu, protein kaya histidin, lipid dan alkohol. 
    Kristal β-hematin ini selanjutnya dapat diukur serapannya menggunakan microplate reader pada panjang gelombang (λ) 405 nm. Jumlah kristal β-hematin yang terbentuk berbanding terbalik dengan agen antimalaria penghambat polimerisasi heme tersebut.
Gambar 1. Struktur kimia β-hematin

DAFTAR PUSTAKA

Basilico, N., Monti, D., Olliaro, P., dan Taramelli, D. 1998. Non-iron porphyrins inhibit beta-haematin (malaria pigment) polymerisation. FEBS Letters. Vol. 409. No. 2: 297–299.
Huy, N., Uyen, D.T., Maeda, A., Trang, D.T.X., Oida, T., Harada, S., dan Kamei,K. 2007. Simple Colorimetric Inhibition Assay of Heme Crystallization for High-Throughput Screening of Antimalaria Compounds. Antimicrob Agents Chemother. Vol. 51. No. 1: 350-353.
Wood, B., Langford, S.J., Cooke, B.M., Glenister, F.K., Lim, J., dan Mcnaughton D. 2003. Raman Imaging of Hemozoin Within The Food Vacuole of Plasmodium Falciparum Trophozoites. FEBS Lett. Vol. 554. No. 3: 247-252.

Tuesday 30 April 2019

Kromatografi dan Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared (FT-IR)

 Kromatografi
        Kromatografi merupakan suatu metode yang khususnya digunakan dalam pemisahan komponen-komponen dalam suatu sampel yang terdistribusi dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam. Fasa diam merupakan zat yang dilalui oleh fasa gerak yang berfungsi untuk memisahkan komponen-komponen campuran pada sampel. Fasa diam dapat berupa padatan ataupun cairan yang diletakkan diatas padatan atau gel. Fasa diam dapat dibuat dalam bentuk kolom, disebarkan sebagai suatu lapisan tipis atau didistribusikan sebagai film. Fasa gerak adalah suatu zat yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang ada pada campuran sampel, fasa gerak dapat berupa gas atau cairan (Rubiyanto, 2017).
         a. Kromatografi lapis tipis (KLT)
            Metode kromatografi lapis tipis merupakan metode analisis kualitatif maupun kuantitatif yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu senyawa (Fauziyah, 2012). Kromatografi lapis tipis merupakan suatu cara pemisahan komponen senyawa kimia dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam. Kromatografi lapis tipis dibuat dengan berbagai eluen (pelarut) untuk mengetahui eluen atau pelarut yang dapat memperoleh komponen terbanyak dari suatu senyawa (Hayani dan May, 2005).
        b. Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP)
           Kromatografi lapis tipis preparatif atau sering disebut dengan KLTP merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murninya (Gritter dkk., 1991). KLTP merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling sederhana (Hostettmann dkk., 1995). Ukuran plat kaca kromatografi yang biasanya dipakai adalah 20 x 20 cm, namun ketebalan lapisan dan ukuran plat mempengaruhi jumlah bahan yang akan dipisahkan (Stahl, 1969). KLTP adalah cara yang ideal untuk pemisahan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g) (Gritter dkk., 1991). Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram tetapi sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram (Hostettmann dkk., 1995). Keuntungan KLTP dari kromatografi kolom adalah pemisahan yang lebih baik karena waktu yang relatif cepat, pemisahan yang dihasilkan berupa bercak yang tidak bergerak, mudah mengambil senyawa-senyawa yang terpisah secara individu dengan mengerok pada bagian yang mau diambil dan mengumpulkan tiaptiap lapisan serta alat yang digunakan sederhana (Gasparic dan Churacek, 1978).

   Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared (FT-IR)

       Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared atau FT-IR merupakan alat yang digunakan untuk mengukur gugus fungsi secara cepat tanpa merusaknya dan mampu menganalisis beberapa komponen secara serentak (Rohaeti dkk., 2011). Spektrum inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel senyawa diletakkan dalam instrumen dengan sumber radiasi inframerah sehingga secara otomatis spektroskopi membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan kisaran frekuensi tertentu (Tabel 1.) dan merekam pada kertas berapa persen radiasi yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai pita pada spektrum. 
                   Tabel 1. Frekuensi regangan inframerah pada beberapa jenis ikatan

DAFTAR PUSTAKA

Fauziyah, B. 2012. Analisis Kualitatif Fenilalanin secara Kromatografi Kertas dan Kromatografi Lapis Tipis (Studi Awal Pengembangan Metode Deteksi Penyakit Phenylketonuria). Saintis. Vol. 1. No. 2: 10-18.
Gasparic, J dan Churacek, J. 1978. Laboratory Handbook of Paper and Thin Layer Chromatography. John Wiley and Sons: New York.Gelling, I. R. 1991. Epoxidized Natural Rubber. Journal Natural Rubber. Vol. 6. No.1: 184.
Gritter, R.J., Bobbic, J.N., dan Schwarting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi Edisi. Kedua Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB Press: Bandung.
Hayani, Enid dan May, S. 2005. Teknik Pemisahan Komponen Ekstrak Purwoceng Secara Kromatografi Lapis Tipis. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 10. No. 2: 83-85.
Hostettmann, K., Hostettman, M., dan Marston A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Isolaso Senyawa Alam (terjemahan, Kosasih P.). ITB Press: Bandung.
Rohaeti, E., Heryant, R., Rafi, M., Wahyuningrum, A., dan Darusman, L.K. 2011. Prediksi Kadar Flavonoid Total Tempuyung (Sonchus arvensis L.) menggunakan Kombinasi Spektroskopi IR dengan Regresi Kuadrat Terkecil Parsial. Jurnal Kimia. Vol. 5. No. 2: 101-108. 
Rubiyanto, Dwiarso. 2017. Teknik Dasar Ktromatografi. Deepublish: Yogyakarta.
Silverstein, R.M., Webster, F.X. dan Kiemle, D.J. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 7th Edition. State University of New York. John Wiley & Sons, Inc.
Stahl, E. 1969. Thin Layer Chromatography a Laboratory Handbook. Second Edition, Springer International Student Edition, Tokyo, Toppan Company Limited: Japan.

Microplate Reader dan Spektroskopi 1H-NMR

                                                              Microplate Reader


       Microplate reader merupakan alat yang digunakan untuk pembacaan lempeng mikro. Microplate reader memiliki prinsip sama dengan spektrofotometri yang menggunakan metode konvensional namun yang membedakan ialah microplate reader dapat melakukan analisis dengan jumlah sampel yang banyak (Heredia dkk., 2006). Perbedaan dengan spektrofotmeter konvensional yang memfasilitasi pembacaan pada berbagai panjang gelombang, microplate reader memiliki filter atau kisi-kisi difraksi yang membatasi rentang panjang gelombang yang digunakan dalam microplate, umumnya antara 400 sampai 750 nm. Namun, beberapa microplate reader bekerja dalam rentang ultraviolet dan melakukan analisis antara 340-700 nm. 
    Sistem optik dimanfaatkan oleh banyak produsen menggunakan serat optik untuk menyuplai cahaya untuk sumur lempeng mikro yang berisi sampel. Berkas cahaya yang melewati sampel memiliki diameter yang berkisar antara 1 sampai 3 mm. Suatu sistem deteksi untuk mendeteksi cahaya yang bersal dari sampel, menguatkan sinyal dan menentukan absorbansi sampel. Selanjutnya suatu sistem pembacaan mengubahnya menjadi data yang memungkinkan interpretasi hasil pengujian. Skema microplate reader dapat dilihat pada Gambar 1.

                                                     Gambar 1. Skema Microplate Reader
Keterangan: 1. Sumber cahaya; 2. Diafragma; 3. Lensa kondensor;
4. Filter; 5. Fiber bundle; 6. Lensa fokuss; 7. Microplate;
8. Detektor 

Spektroskopi 1H-NMR

       Spektrofotometer 1H-NMR merupakan alat yang digunakan untuk menentukan kedudukan proton pada suatu senyawa serta dapat untuk menentukan perbandingan jumlah relatif proton-proton tersebut yaitu dengan mengukur intensitas dari signalsignal proton dengan alat intergrator yang ada pada 1H-NMR (Silverstein dkk., 1991). 
        Sifat yang mendasari prinsip resonansi magnetik inti sebagai alat analisis dengan tujuan elusidasi struktur ialah inti-inti atom tertentu seperti 1H, 13C, 19F dan 31P yang dapat berperilaku sebagai magnet batang kecil. Atom hidrogen memiliki beberapa isotop yaitu 2H (deuterium) dan 3H (tritium) namun kelimpahan terbesar di alam adalah 1H yaitu sebesar 99,985% (Kosela, 2010). 
       Terbentuknya signal-signal terjadi karena perbedaan lingkungan kimia dari atom hidrogen. Perbedaan kedudukan tersebut akan memberikan frekuensi resonansi yang berbeda. Perbedaan kedudukan dalam kurva signal 1H-NMR dikenal sebagai geseran kimia. Jika semakin kecil frekuensi resonansinya maka semakin besar kerapatan elektronnya dan semakin kecil juga pergeseran kimia proton tersebut dan sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kimia adalah faktor induktif, faktor anisotropik, faktor sterik, ikatan hidrogen dan pelarut yang digunakan (Silverstein dkk., 1991). Langkah yang dilakukan dalam menginterpretasikan kurva spektrum 1H-NMR adalah jumlah sinyal menerangkan seberapa banyak jenis proton yang berada pada molekul analit. Kedudukan sinyal menerangkan tentang jenis lingkungan kimia tempat proton tersebut berada. Intensitas sinyal menerangkan jumlah dari proton pada lingkungan kimia tertentu. Pemecahan puncak (splitting) menerangkan tentang lingkungan kimia dari proton lainnya yaitu proton yang berdekatan (bertetangga) (Silverstein dkk., 1991).

                                                               DAFTAR PUSTAKA

Heredia, T., Adams, D., Fields, K., Held, P., dan Harbertson, J. 2006. Evaluation of a Comprehensive Red Wine Phenolics Assay Using a Microplate Reader. Am. J. Enol. Vol. 57. No. 4: 497-502.
Kosela, S. 2010. Cara Mudah dan Sederhana Penentuan Struktur Molekul Berdasarkan Spektra Data (NMR, Mass, IR, UV). Penerbit Lembaga FE UI: Jakarta. 
Silverstein, R.M., Bassler, G.C., dan Morril, T.C. 1991. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 4 th Edition. John Wiley and Sons Inc: New York.

Monday 29 April 2019

Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS) dan Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS)

                                 Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS)

   Spektrometri massa adalah teknik analitik yang memberikan informasi kualitatif berupa struktur dan kuantitatif berupa massa molekul atau konsentrasi pada molekul analit setelah diubah menjadi ion. Spektrometri massa yang menggunakan ESI disebut Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS). 
    Prinsip kerja dari alat ini ketika senyawa dianalisis, senyawa ditembak dengan elektron sehingga elektron dalam molekul akan terlempar keluar dan akan didapatkan kation molekul bermuatan positif. Bagian dari kation ini pada waktu bertemu dengan elektron akan menerima energi yang tinggi yang akan menyebabkan penguraian lebih lanjut kation molekul menjadi fragmen yang lebih kecil (fragmentasi). Kation dan fragmen yang bermuatan positif akan dipercepat oleh tegangan tarikan dan dibelokkan dalam ruang pengurai. Bagian ini terdiri atas tabung logam yang terdapat diantara dua kutub magnet. Medan magnet akan membelokkan bagian yang bermuatan dari arah garis lurus aliran menjadi pita yang melengkung yang dengan perubahan kontinyu medan magnet atau tegangan tarikan kation sesuai dengan massanya akan diregritasi berurutan sebagai spektrum massa (Roth dan Gottfried, 1998). ESI-MS juga terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu sumber ion, analisa massa dan detektor. ESI menggunakan energi listrik untuk membantu transfer ion dari larutan ke fasa gas sebelum molekul mengalami analisis spektrometri massa (Banerjee dan Mazumdar, 2012).                                       
     
                                Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS)


 Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS) adalah metode yang mengkombinasikan kromatografi gas dan spektrometer massa untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda dalam analisis sampel. Gas Chromatography merupakan metode dinamis yang digunakan untuk memisahkan dan mendeteksi senyawasenyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran (Gandjar & Rohman, 2007). Sedangkan Spectrometer Mass adalah suatu metode untuk mendapatkan berat molekul dengan cara mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion yang muatannya diketahui dengan mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam. 
  Prinsip kerja GC-MS adalah sampel yang berupa cairan diinjeksikan ke dalam injektor kemudian diuapkan. Sampel yang berbentuk uap dibawa oleh gas pembawa menuju kolom untuk proses pemisahan. Setelah terpisah, masing-masing komponen akan melalui ruang pengion dan dibombardir oleh elektron sehingga terjadi ionisasi. Fragmen-fragmen ion yang dihasilkan akan ditangkap oleh detektor dan dihasilkan spektrum massa.

                                                         DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, S. dan Mazumdar, S. 2012. Electrospray Ionization Mass Spectrometry: A tecchnique to Access the Information beyond the Molecular Weight of the Analyte. International Journal Analytical Chemistry. Vol. 2012: 282574.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Roth, H.J dan Gottfried, B. 1998. Analisis Farmasi. UGM Press: Yogyakarta.

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

                                 KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

   Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960 dan 1970. Saat ini, sudah sangat luas digunakan sebagai teknik pemisahan baik untuk analisis sampel dan pemurnian dalam variasi sampel baik dalam bidang farmasi, bioteknologi, lingkungan, polimer dan industri makanan (Settle, 1997). Hakekatnya kromatografi merupakan metode pemisahan dimana komponen yang akan dipisahkan terdustribusi diantara dua fase yang tidak saling bercampur yaitu fase diam dan fase gerak (Wellings, 2006). 
     Pada KCKT, fase diam berupa kolom modern dengan partikel yang sangat kecil (ditempatkan dalam kolom tertutup), sedangkan fase gerak berupa cairan yang dialirkan ke kolom menggunakan bantuan pompa dan terdapat detektor yang sensitive (McMaster, 2007). Berdasarkan mekanisme pemisahannya, diklasifikasikan berdasarkan adsorpsi, partisi, pertukaran ion dan berdasarkan ekslusi ukuran. Pada partisi dibedakan lagi menjadi kromatografi fase normal dan fase terbalik (Moffat, 2004). 
      Kromatografi adsorpsi terjadi interaksi antara solut pada permukaan fase diam, dimana fase diam berupa adsorben polar padat (silika, alumina). Kromatografi partisi berdasarkan partisi analit dalam fase gerak cair dan fase diam cair yang tidak saling bercampur dan terikat pada penyangga kolom karena adanya perbedaan kelarutan komponen sampel dalam kedua fase. Kromatografi pertukaran ion, berdasarkan pertukarn anion, atau kation pada fase diam dengan solut. Sedangkan kromatografi eksklusi ukuran, solut dipisahkan berdasarkan ukuran molekul, molekul dengan ukuran besar akan terelusi pertama dari kolom tersebut (Moffat, 2004). 
       Pada kromatografi partisi, terdapat perbedaan berdasarkan polaritas dari fase diam dan fase gerak yaitu (Harvey, 2000): 
1. Fase Normal 
   Pada kromatografi fase normal, fase diam polar sedangkan fase geraknya adalah non polar. Campuran senyawa polar akan tertahan lebih lama di dalam kolom dibandingkan dengan senyawa non polar. Sehingga senyawa non polar akan keluar dari kolom lebih cepat dibandingkan dengan senyawa polar. Fase diam dapat mengandung gugus siano, diol atau amino. 
2. Fase Terbalik 
     Kromatografi fase terbalik, yang umunya digunakan untuk analisis. Fase diam pada fase terbalik bersifat non polar, sedangkan fase gerak bersifat polar. Fase diam umumnya mengandung senyawa non polar yang mempunyai rantai karbon yang panjang, umumnya gugus n-octyl (C8) or n-octyldecyl (C18). Sehingga senyawa polar akan keluar lebih cepat dari kolom. 
    Pada dasarnya peralatan pokok yang selalu (harus) ada di dalam suatu sistem KCKT adalah sebagai berikut: 
a) Resevoir untuk fase gerak 
b) Pompa 
c) Injektor 
d) Kolom 
e) Detektor 
f) Sistem pengolah data (Recorder/ Integrator/ PC-Based Software) 
g) Termostat untuk kolom dan detektor apabila diperlukan (Kantasubrata, 2004). 
3. Solvent Resevoir 
     Sesuai dengan namanya, fungsi solvent reservoir adalah untuk menampung fase gerak yang akan dilirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa. Solvent resevoir biasanya terbuat dari gelas dengan volume yang bervariasi bergantung dari jumlah/ volume fase gerak yang dibutuhkan. 
4. Pompa 
     Fungsi pompa di dalam sistem KCKT adalah untuk mendorong fase gerak masuk ke dalam kolom. Tekanan pompa yang diperlukan harus cukup tinggi karena kolom KCKT berisi partikel-partikel yang sangat kecil. Pada dasarnya pompa KCKT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a) Dapat memompa fase gerak secara konstan 
b) Mempunyai batas tekanan maksimum yang cukup tinggi (400 psi) 
c) Inert terhadap pelarut-pelarut organik (tahan terhadap fase gerak) 
d) Mempunyai noise yang rendah 
e) Cara kerja sederhana 
f) Mempunyai fluktuasi tekanan yang minimal 
5. Injektor 
    Fungsi injektor pada sistem KCKT adalah tempat untuk memasukkan cuplikan dengan bantuan syringe. Jenis injektor yang sering digunakan adalah ijektor dengan sistem loop, yaitu jenis injektor yang menggunakan katup dan loop. 
6. Kolom 
      Kolom pada sistem KCKT merupakan jantung dari sistem tersebut, karena di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen cuplikan. Jadi berhasil tidaknya suatu analisis atau pemisahan komponen-komponen sangat bergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan dapat terjadi karena fase diam yang terdapat di dalam kolom dapat mengadakan interaksi dengan berbagai komponen dengan kekuatan berbeda satu sama lain, sehingga masing-masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi (tR) yang juga berbeda. 
7. Detektor 
   Fungsi detektor dalam KCKT adalah untuk mendeteksi komponen-komponen cuplikan hasil pemisahan kolom secara kualitatif dan kuantitatif bergantung pada kebutuhan analisis. Detektor KCKT yang baik harus mempunyai sensitifitas yang cukup tinggi atau mempunyai limit deteksi yang sangat kecil, sehingga dapat memberikan perubahan sinyal yang besar pada perubahan konsentrasi komponen cuplikan yang kecil. Detektor yang sensitif akan sangat membantu analisis kualitatif, terutama untuk trace analysis. Dua jenis detektor yang dikenal didalam KCKT adalah: 
a) Detektor Universal 
  Yaitu detektor yang yang bisa langsung digabungkan ke dalam instrument KCKT tanpa memerlukan tambahan sistem khusus. Contoh: detektor UV-Vis, detektor indeks refraksi, detektor flourescence, detektor diode array dan detektor hantaran. 
b) Detektor Khusus 
   Yaitu detektor yang memerlukan sistem khusus agar bisa digunakan sebagai detektor dalam KCKT, contoh: FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), MS (Mass Spectrometer), dan sebagainya. c) Detektor Photo Diode Array 
   Kelebihan detektor Photo Diode Array (PDA) adalah mampu membuat spectrum senyawa dalam waktu 0,1 detik. Kelebihan ini menjawab semua kesulitan yang tak dapat dilakukan oleh detektor spektrofotometer yang lain, yaitu waktu elusi komponen melalui sel aliran detektor yang hanya 1 detik tidak cukup bagi peralatan untuk melakukan scanning untuk pembentukan spectrum. Selain itu detektor PDA mampu menampilkan kromatogram dalam bentuk tiga dimensi, yaitu hubungan antara waktu, absorpsi dan panjang gelombang (Kantasubrata, 2004). 
8. Sistem Pengolah Data (Recorder/ Integrator/ Komputer) 
    Sistem KCKT memerlukan recorder (pencatat) sebagai system pencatat yang berkualitas baik dan mampu menampilkan kromatogram dengan jelas, tepat dan cukup peka. Keuntungan KCKT (Harmita, 2006), antara lain : 
a) Waktu analisis cepat Waktu yang diperlukan biasanya kurang dari 1 jam, seringkali hanya 15 menit hingga 30 menit. Untuk analisis yang mudah waktu yang diperlukan kurang dari 5 menit. 
b) Daya pisahnya baik 
c) Peka Kepekaannya sangat bergantung pada jenis detektor dan eluen yang digunakan. 
d) Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi 
e) Kolom dapat dipakai kembali 
f) Dapat digunakan untuk molekul besar dan kecil 
g) Mudah untuk memperoleh kembali cuplikan Tidak seperti kebanyakan detektor dalam kromatografi gas, detektor tidak merusak komponen zat yang dianalisis, sehingga zat yang telah dielusi dapat dikumpulkan dengan mudah setelah melewati detektor. 
h) Dapat menghitung sampel dengan kadar yang sangat rendah (bergantung pada detektor yang digunakan) 

                                                            DAFTAR PUSTAKA

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGraw Hill: New York, 5778- 586,.
McMaster, M.C. 2007. HPLC A Partical User’s Guide 2th Ed. John Willey & Sons: USA,3-13.
Moffat, A. C., Osselton, M. D., dan Widdop, B. 2004. Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons,[online]. http://mtnviewfarm.net/drugs-poisons-i006.html. Diakses hari Minggu, 4 Maret 2018. Pukul 13:45 WITA.
Settle, F.A. 1997. Quality Control of Herbal Medicine: Chromatographic Finger Printing and Screening for Adulterants. Nasional University of Singapore.
Wellings, D.A., 2006. A Practical Handbook of Preparative HPLC. Elservier, Ltd. 1-5. UK.