BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama digunakan untuk
mewangikan, membersihkan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau
badan serta melindungi dan memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM RI,
2011). Penggunaan kosmetik harus sesuai dengan aturan pemakaian, misalnya
harus sesuai dengan jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan,
umur, dan jumlah pemakaiannya sehingga tidak menimbulkan efek yang tidak
diinginkan (Djajadisastra, 2005). Bahan kosmetik yang digunakan adalah
campuran bahan yang berasal dari alam, seperti pembuatan secara tradisional
maupun sintetik. Komponen-komponen yang terkandung didalam kosmetik antara
lain bahan pengawet, bahan pewarna dan bahan tabir surya (BPOM RI, 2015).
Kosmetik saat ini sudah menjadi kebutuhan penting bagi manusia. Kosmetik
tidak hanya digunakan untuk fungsi estetika, tetapi berperan juga dalam
penyembuhan dan perawatan kulit. Meski bukan merupakan kebutuhan primer,
namun kosmetik merupakan salah satu produk yang digunakan secara rutin
bahkan dapat digunakan setiap hari secara terus-menerus oleh manusia. Oleh
karena itu keamanan kosmetik dari bahan-bahan berbahaya perlu diperhatikan.
Kosmetik merupakan produk yang di formulasi dari bahan-bahan kimia dan
bahan-bahan aktif yang akan bereaksi ketika diaplikasikan pada jaringan kulit
manusia (Muliyawan dan Suriana, 2013).
Saat ini kosmetik yang mengandung bahan-bahan berbahaya sudah banyak
beredar di kalangan masyarakat. Hal itu dapat terjadi dikarenakan masih banyak
permintaan dari konsumen yang menginginkan efek instan terutama untuk
perawatan kulit, badan atau memberikan penampilan yang cantik dengan harga
murah dan terjangkau. Selama bulan Januari hingga Oktober Tahun 2016, BPOM
menerima tiga ratus lima puluh empat pengaduan masyarakat tentang kosmetik
ilegal, baik produknya yaitu kosmetik yang tidak memiliki nomor notifikasi dan
dijual belikan melalui online maupun sarana produksi kosmetik ilegalnya. Data
temuan dari BPOM menunjukkan bahwa 80% kosmetik ilegal adalah kosmetik
impor ilegal. Peredaran kosmetik impor ilegal dan mengandung bahan berbahaya
ini dapat membahayakan kesehatan konsumen dan berdampak negatif pula
terhadap perekonomian nasional karena berpotensi menurunkan daya saing
kosmetika yang terdapat di dalam negeri (BPOM RI, 2016).
Dari hasil penertiban sepanjang Tahun 2016, BPOM telah berhasil
menemukan sembilan ribu tujuh puluh satu jenis (satu juta empat ratus dua puluh
empat ribu empat ratus tiga belas kemasan) kosmetik impor ilegal dengan nilai
ekonomi mencapai lebih dari tujuh puluh tujuh koma sembilan miliar rupiah.
Selain itu hasil dari pengawasan selama semester II Tahun 2016, BPOM berhasil
menemukan tiga puluh sembilan jenis kosmetik yang mengandung bahan
berbahaya yang didominasi oleh produk kosmetik dekoratif dan produk pewarna
kulit. Bahan berbahaya yang teridentifikasi terkandung dalam temuan tersebut
antara lain merkuri, hidrokinon, asam retinoat, serta bahan pewarna merah K3,
merah K10 dan Sudan IV. Selain itu, ditemukan pula kosmetik yang mengandung
bahan kimia obat yang seharusnya tidak diperbolehkan terkandung dalam
kosmetik, yaitu klindamisin dan teofilin (BPOM RI, 2016).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan identifikasi teofilin
pada sampel kosmetika sediaan semi padat secara Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT). Hasil dari identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kandungan
dan cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan
teknik KCKT.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana cara menganalisis teofilin dalam sampel kosmetika sediaan
semi padat dengan teknik KCKT?
b. Bagaimana kandungan teofilin dalam sampel kosmetika sediaan semi
padat yang dianalisis dengan KCKT?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan
semi padat dengan teknik KCKT.
b. Mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika
sediaan semi padat.
1.4 Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
- Menerapkan teori-teori yang telah didapatkan dibangku kuliah.
- Memperoleh bekal sebelum terjun kemasyarakat .
- Memiliki pengetahuan tentang aktifitas-aktifitas suatu perusahaan/
instansi.
b. Bagi Perguruan Tinggi
- Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk terjun kelapangan
dan masyarakat.
- Menguji sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam menerapkan
teori dibidang praktis.
- Sebagai bahan evaluasi dalam peningkatan mutu kurikulum di
masa depan.
BAB II DASAR TEORI
21. Kosmetika
Kosmetika berasal dari bahasa Inggris “cosmetic” yang yang berarti alat
kecantikan wanita sedangkan dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan
“alatuj tajmiil” atau sarana mempercantik diri. Dalam bahasa Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias dan mengatur. Menurut Wall
dan Jellinenk (1970), kosmetik dikenal manusia sejak berabad–abad yang lalu.
Namun, mulai abad ke–19 pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu
selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik serta
industri baru dimulai secara besar–besaran pada abad ke-20 (Tranggono, 2007).
2.2 Sediaan Semi Padat
Sediaan semi padat dalam bidang farmasi meliputi salep, pasta, emulsi
krim, gel, dan busa yang kaku. Sifat umumnya yaitu dapat melekat pada
permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama, sebelum sediaan ini
dicuci atau dihilangkan. Pelekatan ini disebabkan oleh sifat rheologis plastik yang terdapat dalam sediaan semi padat yang memungkinkan tetap bentuknya dan
melekat sebagai lapisan tipis sampai ada suatu tindakan, yaitu dengan sesuatu
kekuatan dari luar, yang mengakibatkan bentuk sediaan semi padat ini akan rusak
bentuknya dan mengalir (Lachman, 2008).
2.3 Bahan Kimia Obat
Bahan Kimia Obat (BKO) adalah senyawa sintesis atau produk kimiawi
yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern. Penggunaan BKO pada pengobatan modern selalu disertai takaran atau
dosis, atau cara pakai yang jelas dan peringatan-peringatan tentang bahaya dalam
penggunaannya. Meski demikian, sebagai bahan kimia asing bagi tubuh, tetap
saja harus waspada karena banyak kemungkinan terjadinya efek samping.
Berdasarkan hasil pengawasan kosmetika melalui sampling dan pengujian
laboratorium oleh Badan POM RI terdapat beberapa kosmetika yang dicampur
dengan bahan kimia obat. Beberapa bahan kimia obat yang ditemukan antara lain
teofilin dan klindamisin (BPOM RI, 2016).
2.4 Teofilin
Teofilin (1,3-dimetilxantin) merupakan senyawa alkaloid turunan xantin
dan termasuk ke dalam kelompok purin. Teofilin sudah lama digunakan untuk
mengobati penyakit asma yang bekerja dengan cara merelaksasi otot polos serta
menstimulasi sistem syaraf pusat dan otot jantung (Young, 2003). . Ciri fisik
teofilin adalah berbentuk serbuk, berwarna putih, tidak berbau, rasanya pahit, dan stabil di udara. Teofilin sukar larut dalam air, mudah larut dalam air panas, larutan
alkali hidroksida, dan amonium hidroksida, serta agak sukar larut dalam etanol,
kloroform, dan eter (USP, 2003). Kelarutan dari teofilin yaitu larut dalam air,
mudah larut dalam air panas, larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam larutan
alkali hidroksida dan dalam ammonia encer. Teofilin merupakan obat yang sering digunakan dalam terapi penyakit
asma. Teofilin memiliki waktu paruh yang relatif pendek dan indeks terapetik
yang sempit yaitu 5-20 μg/ml. Formulasi sediaan lepas lambat diharapkan dapat
menghasilkan konsentrasi konsentrasi obat dalam darah yang lebih seragam, kadar
puncak yang tidak fluktuatif (Bayomi, 2001).
Teofilin adalah suatu metilxantin yang awalnya ditemukan pada teh dan
mulai diisolasi pada akhir abad ke-19. Sampai saat ini teofilin atau bentuk larutan
garam etilen diaminnya (aminofilin) masih menjadi terapi standar untuk penyakit
asma, namun efek samping yang ditimbulkan dari penggunaannya, antara lain
mual, nyeri kepala, dan diuresis serta yang paling ditakutkan adalah aritmia
jantung dan kejang (Barnes, 2006).
BAB III METODE KERJA
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam melakakan identifikasi, antara lain
seperangkat alat KCKT (Thermo Scientific Ultimate 3000), kolom berisi
oktadesilsilansa C18 (4,6 x 250 mm, ukuran partikel 5 µm), pengolah data pada
komputer DELL, detektor UV (Ultra Violet) panjang gelombang 280 nm,
sonikator (Elmasonic S 300 H), hot plate magnetic stirrer (Heidolph), vortex
mixer (Thermo Scientific), botol vial tertutup, timbangan analitik (Sartorius
CPA2245), kertas saring (Whatman No. 42), millipore sampel 0,45 µm, millipore
fase gerak 0,45 µm, labu ukur 10 mL, gelas baker 10 mL, erlenmeyer 1000 mL,
labu ukur 1000 mL, pipet volume 1 mL, gelas ukur 1000 mL dan stirrer.
3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam identifikasi adalah sampel kosmetik
sediaan semi padat, teofilin BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia),
natrium asetat, aqudes, asam asetat glasial, asetonitril.
3.3 Cara Kerja
Pembuatan pelarut dilakukan dengan 2 tahap yaitu dengan pembuatan
pelarut A dan pelarut B. Mula-mula pelarut A dibuat dengan cara menimbang
1,36 g natrium asetat, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL kemudian
ditambahkan dengan aquades 100 mL, digojog, ditambahkan 5 mL asam asetat glasial lalu diencerkan menggunakan aquades sampai tanda batas (Pelarut A).
Pelarut B dibuat dengan cara mengambil 70 mL asetonitril kemudian dimasukkan
ke dalam gelas ukur 1000 mL dan diencerkan menggunakan pelarut A hingga
tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 mL dan
dihomogenkan menggunan hot plate magnetic stirrer selama kurang lebih 8 menit
supaya larutan tercampur secara homogen, larutan disaring menggunkan millipore
fase gerak dengan ukuran 0,45 µm supaya tidak terdapat kontaminan dalam
pelarut (Pelarut B).
Langkah selanjutnya yaitu pembuatan larutan baku, pembuatan larutan
baku berfungsi sebagai pembanding. Dalam hal ini larutan baku dijadikan sebagai
standar uji untuk sampel yang akan dianalisis, dengan cara menimbang sejumlah
kurang lebih 10 mg Teofilin BPFI kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10
mL, dilarutkan dan diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B1).
Sejumlah 1,0 mL larutan baku B1 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL,
diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B2). Sejumlah 0,5 mL
larutan baku B2 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan
pelarut B sampai tanda sehingga diperoleh baku dengan konsentrasi 5 µg/mL.
Larutan kemudian disaring menggunakan millipore sampel ukuran 0,45 µm lalu
dimasukkan ke dalam botol vial tertutup, selanjutnya dilakukan degas selama
kurang lebih 15 menit menggunakan sonikator (Larutan A).
Dalam pengujian ini dilakukan preparasi sampel kosmetik sediaan semi
padat dengan kode sampel 45 dan 133. Pertama, sampel yang akan diuji
dipersiapkan terlebih dahulu. Sampel ditimbang kurang lebih 0,5 g kemudian
dimasukkan ke dalam gelas beker 10 mL, ditambahkan sedikit demi sedikit
pelarut B kurang lebih 10 mL sambil diaduk, larutan kemudian dihomogenkan
menggunakan vortex mixer agar dapat tercampur secara homogen, lalu disaring
menggunakan kertas saring whatman no. 42, hasil filtrat yang didapat disaring
kembali meggunakan millipore sampel dengan ukuran 0,45 µm, selanjutnya
dimasukkan kedalam botol vial tertutup yang telah dibilas menggunakan pelarut
B. Botol vial yang sudah berisi larutan kemudian di degas menggunakan sonikator
selama kurang lebih 15 menit, tujuan dilakukannya degas adalah menghilangkan zat-zat pengotor (misalnya air, mineral, dan zat volatil lainnya) yang masih
menempel/ terperangkap pada pori/ permukaan padatan tersebut (Larutan B).
Cara Penetapannya yaitu larutan A dan larutan B masing-maisng
dimasukkan secara bersamaan dan dilakukan penetapan KCKT (Thermo Scientific
Ultimate 3000) dengan kondisi analisis: kolom menggunakan baja tahan karat
yang berisi oktadesilsilana C18 (4,6 x 250 mm) dengan ukuran partikel 5 µm, fase
gerak yang digunakan adalah asetonitril dengan laju alir 1,0 mL per menit serta
volume penyuntikan 20 µL, detektor yang digunakan adalah UV (Ultra Violet)
dengan panjang gelombang 280 nm.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Sampel Kosmetika Sedian Semi Padat Secara Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi dengan Detektor UV (Ultra Violet)
Pada pengujian yang berjudul Identifikasi Sampel Kosmetika Sediaan Semi
Padat Secara KCKT dengan Detektor UV bertujuan untuk mengetahui cara
analisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT
serta mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika
sediaan semi padat. Produk sampel kosmetika sediaan semi padat yang diuji
adalah anti-aging, dimana penuaan pada kulit wajah memang selalu menjadi hal
yang dikhawatirkan pada setiap wanita. Dengan bertambahnya usia, kondisi kulit
ini memang tidak akan sama lagi. Kulit wajah menjadi berkurang kekenyalannya
serta akan mulai tampak tanda-tanda penuaan seperti garis-garis halus dan
munculnya flek hitam, sehingga banyak wanita yang menginginkan kulit
wajahnya menjadi seperti muda kembali dengan menggunakan produk anti-aging
yang berguna untuk meremajakan kulit wajah. Formulasi yang digunakan dalam
produk anti-aging antara lain Conjugated Linoleic Acid (CLA) yang membantu
menstimulasi produksi sel kulit baru. Alpha Hydroxy Acids (AHA) yang
membantu mengangkat sel kulit mati. Retinol berfungsi menstimulasi produksi
kolagen. Cetyl Alcohol membantu meningkatkan kerja retinol, dan Glycerine yang
mampu meningkatkan kelembaban kulit dari dalam sehingga kulit tampak lebih
kencang. Namun, terdapat beberapa produsen yang menjual produk-produknya
dengan menambahkan bahan kimia obat dalam produk anti-aging. Bahan kimia
obat yang digunakan adalah teofilin. Teofilin tidak boleh dimasukkan ke dalam
kosmetik karena memiliki efek samping yang berbahaya bagi kulit maupun tubuh
sehingga perlu dilakukan identifikasi teofilin pada setiap produk kosmetik antiaging.
Sejak tahun 1973, undang-undang Federal AS telah melarang merkuri dalam
kosmetik di luar jumlah yang dapat dilacak (1 mg / kg) karena kekhawatiran akan
toksisitas (Michael dkk., 2018). Krim pemutih kulit adalah salah satu produk kosmetik populer di kalangan pria dan wanita untuk mendapatkan warna kulit
yang lebih terang atau sebagai anti-bintik (Olumide dkk., 2008). Diketahui bahwa
aplikasi merkuri sebagai bahan aktif dalam kosmetik pencerah kulit telah diterima
selama berabad-abad (Boonchai dkk., 2011). Merkuri dikenal sebagai
neurotoksikan, dianggap sebagai salah satu ion logam berat yang sangat beracun.
Menurut Food and Drug Administration (FDA), konsentrasi maksimum merkuri
dalam kosmetik harus kurang dari 1,0 μg g − 1 (Barel dkk., 2014). Bahkan tingkat
konsentrasi merkuri yang diizinkan dalam kosmetik rendah, paparan terus
menerus pada kulit dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti
kerusakan pada otak, ginjal, usus, dan sistem syaraf (Zahir, 2005). Toksisitas
unsur ini pada tingkat rendah akan membuat keresahan terhadap masyarakat
sehingga perlu adanya pengembangan berbagai metode analitik selektif dan
sensitif untuk mengetahui kadar dari beberapa kandungan bahan berbahaya dalam
kosmetik.
Metode yang umum digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif
teofilin adalah metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau
sering disebut dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) karena metode
tersebut berguna untuk memisahankan sejumlah senyawa organik, anorganik
maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian, analisis senyawa-senyawa
yang tidak mudah menguap, penentuan molekul-molekul netral, ionik maupun
zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa. KCKT merupakan metode yang tidak
destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun kualitatif
(Gandjar, 2007). Prinsip KCKT adalah pemisahan senyawa berdasarkan
perbedaan interaksi antara analit dengan fase gerak dan fase diam. Keuntungan
dari metode KCKT yaitu memiliki kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi,
dapat menggunakan berbagai detektor, kolom dapat digunakan kembali, dapat
dilakukan pada suhu kamar serta ideal untuk pemisahan ion dan molekul besar
(Johnson dan Stevenson, 1991).
Maksud dan tujuan analisis menggunakan KCKT yaitu didapatkannya
pemisahan yang baik dengan waktu proses yang relatif singkat. Untuk
mendapatkan tujuan yang diinginkan maka diperlukan pemilihan pelarut pengembang yang sesuai dengan komponen yang akan dipisahkan, kolom yang
digunakan juga harus diperhatikan dan menggunakan detektor yang memadai.
Parameter baik atau tidaknya suatu kromatografi didasarkan pada lima faktor,
yaitu waktu retensi, faktor kapasitas, efisiensi kolom, resolusi, dan faktor ikutan.
Pada KCKT menggunakan fase gerak cair yang dialirkan melalui kolom yang
merupakan fase diam menuju ke detektor. Dalam fase gerak terdapat dua pilihan
atau jenis, yaitu isokratik yang hanya menggunakan satu macam fase gerak
ataupun gradien yang menggunakan lebih dari satu macam fase gerak. Pada
identifikasi ini digunakan fase gerak isokratik yang berupa asetonitril sedangkan
fase diam yang digunakan berupa padatan (silica gel) yang ditempatkan pada
kolom tertutup. Setelah campuran memasuki kolom, terjadi pemisahan senyawasenyawa yang akan keluar atas dasar kepolaran yang berbeda, sehingga akan
mempengaruhi kekuatan interaksi antara senyawa dengan fase diam. Senyawasenyawa yang kurang kuat akan keluar terlebih dahulu, dan sebaliknya senyawa
yang berinteraksi kuat dengan fase diam akan keluar lebih lama. Senyawa yang
keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk
kromatogram. Dari kromatogram didapatkan hasil waktu retensi (tR) dan luas
area/ tinggi puncak. Informasi waktu retensi (tR) digunakan untuk analisis
kualitatif sedangkan luas area atau tinggi puncak untuk analisis kuantitatif.
Analisis kualitatif dengan teknik KCKT didasarkan pada perbandingan waktu
retensi yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi baku/ standar. Puncak
yang muncul dalam kromatogram merupakan puncak komponen teofilin karena
yang akan dianalisis adalah kandungan teofilin yang terdapat dalam sampel
kosmetika sediaan semi padat. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara
perhitungan kadar sampel berdasarkan % area dan konsentrasi menggunakan
metode kurva kalibrasi larutan standar. Namun dalam identifikasi ini hanya
dilakukan analisis kualitatif karena sampel yang di identifikasi negatif
mengandung teofilin.
Teofilin memiliki karakteristik yang bersifat polar sehingga memungkinkan
dilakukan analisis dengan KCKT menggunakan detektor UV, dengan fase diam
menggunakan kolom C18 (4,6 x 250 mm) yang berisi oktadesilsilansa yang bersifat non polar dan fase gerak asetonitril bersifat polar. Fase gerak yang
digunakan ialah asetonitril sehingga dapat terjadi elusi karena adanya interaksi
teofilin polar dengan fase gerak yang bersifat polar juga. Fase gerak selain
berfungsi membawa komponen-komponen campuran menuju detektor, fase gerak
juga dapat berinteraksi dengan solut-solut.
Sebelum dilakukan pengujian sampel, maka terlebih dahulu dilakukan Uji
Kesesuaiaan Sistem (UKS) yang bertujuan untuk memberikan kestabilan serta
kesiapan sistem analisa KCKT. Tolak ukur dalam UKS adalah presentase nilai
Relative Standart Deviation (RSD) berdasarkan luas area dan waktu retensinya
yaitu sebesar tidak lebih dari 2%. UKS dilakukan 6x penyuntikan larutan baku
teofilin (dapat dilihat pada lampiran halaman 36). Dilakukan 6x penyuntikan
karena tiap kosmetik memiliki standar UKS yang berbeda-beda. Dan pada larutan
baku teofilin memiliki standar UKS 6x penyuntikan. Data uji kesesuaian sistem
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Data Uji Kesesuaian Sistem KCKT Larutan Baku Teofilin
Dari hasil perhitungan didapatkan persentase nilai % RSD waktu retensi dan
luas area adalah 0,746% dan 0,127%. Dapat disimpulkan bahwa perolehan nilai UKS memenuhi persyaratan karena kurang dari 2%. Dan dapat disimpulkan juga
bahwa sistem sudah stabil dan siap digunakan untuk analisa KCKT.
Cara pengujiannya yaitu larutan A (baku) dan larutan B (sampel) yang telah
dibuat tadi disuntikkan secara bersamaan ke dalam KCKT. Dalam penyuntikan
larutan sampel kosmetik dengan kode 45 dan 133, masing-masing dilakukan
secara duplo karena di BBPOM terdapat peraturan standar sistem jaminan mutu
pada sampel yang mana saat identifikasi menggunakan KCKT harus 2x
penyuntikan untuk meyakinkan pada hasil sampel yang akan dianalisis. Dengan
menggunakan kolom C18 yang berisi oktadesilsilana dengan ukuran partikel 5µm
dan menggunakan fase gerak asetonitril. Kecepatan alir yang digunakan adalah
1,0 mL/menit, volume penyuntikan 20 µL dan dideteksi dengan detektor UV pada
pada panjang gelombang 280 nm. Di Laboratorium Kosmetika untuk identifikasi
teofilin dalam produk kosmetika sediaan semi padat secara KCKT menggunakan
detektor UV karena deteksi komponen sampel didasarkan pada absorpsi sinar
ultraviolet. Detektor UV digunakan dalam suatu analisis jika senyawa yang akan
dianalisis menerima panjang gelombang maksimum pada rentang 200-800 nm.
Detektor UV merupakan detektor yang paling luas digunakan karena sensitivitas
dan reprodusibelitasnya yang tinggi serta mudah dalam pengoperasiaannya.
Detektor UV dilengkapi dengan pengatur panjang gelombang sehingga panjang
gelombang UV yang digunakan dapat dipilih dan disesuaikan dengan jenis
cuplikan yang diukur. Walaupun demikian, biasanya panjang gelombang UV
yang digunakan adalah pada 254 nm karena kebanyakan senyawa organik
menyerap sinar UV pada sekitar panjang gelombang tersebut, tetapi dalam
pengujian produk kosmetika sediaan semi padat digunakan panjang gelombang
280 nm karena teofilin dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 280
nm.
Dilakukan identifikasi terhadap sampel kosmetika sediaan semi padat yang
beredar di pasaran, dengan tujuan untuk mengetahui cara analisis teofilin pada
sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT serta mengetahui
kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. Hasil yang didapat dari sampel yang sudah diidentifikasi dengan KCKT dapat
dilihat pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3.
Tabel 4.2. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 45
Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 45.01 dan 45.02 yang telah diuji
menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not
available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel
tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu
retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin.
Tabel 4.3. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 133
Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 133.01 dan 133.02 yang telah diuji
menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not
available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel
tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu
retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin.
Hasil analisis dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang terdeteksi
pada larutan sampel (dapat dilihat pada lampiran halaman 37 dan 38) terhadap
larutan baku teofilin. Sampel dikatakan positif mengandung teofilin atau tidak,
bila waktu retensi dari sampel sama dengan waktu retensi dari larutan baku
teofilin. Hasil analisis yang dilakukan terhadap sampel teofilin, diperoleh hasil bahwa sampel tersebut dikatakan negatif mengandung teofilin karena waktu
retensi yang didapat pada sampel berbeda dengan dengan larutan bakunya.
Berdasarkan hasil penetapan teofilin dengan KCKT diperoleh waktu retensi
larutan baku teofilin yaitu 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi sampel uji
dengan kode 45 dan 133 yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang
yang sama yaitu 280 nm. Hasil waktu retensi dalam sampel yang tidak didapat
(n.a) dalam kromatogram menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif
mengandung teofilin.
BAB V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Analisis sampel kosmetika sediaan semi padat dapat dianalisis menggunakan
KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan detektor UV (Ultra Violet)
dengan panjang gelombang 280 nm.
2. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan menggunakan KCKT dengan
detektor UV (Ultra Violet) dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) sampel
kosmetika sediaan semi padat tersebut negatif mengandung teofilin dengan
ditunjukkannya tidak terdapat puncak area yang muncul pada waktu retensi
standar baku teofilin dan hasil rata-rata waktu retensi pada larutan baku
teofilin didapatkan 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi dalam sampel
yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang yang sama (λ 280 nm).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta.
Barnes PJ. 2006. Drugs for asthma. British Journal of Pharmacolody. 147: S297–
S303.
Barrel, A.O., Paye, M., Maibach, H.I. 2014. Handbook of Cosmetic Science and
Technology. CRC Press: Boca Raton.
Bayomi, M.A., Al-Suwayeh, S.A., El-Helw, A.M. 2001. Excipient-Excipient
Interaction in the Design of Sustained-Release Theophylline Tablets:
In Vitro and In Vivo Evaluation. Drug Development and Industrial
Pharmacy. Marcel Dekker Inc: New York, 27(6), 499 – 506.
BPOM RI. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. Jakarta: 3.
BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.03.1.23.08.11.07517 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika, Direktorat Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetika dan
Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia. Jakarta: 20.
BPOM RI. 2015. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta : 7.
BPOM RI. 2016. [online]
https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/339/PENERTIBA
N-KOSMETIKA-IMPOR-ILEGAL-DAN-KOSMETIKAMENGANDUNG-BAHAN-BERBAHAYA-Berantas-Produk-Ilegaldan-Berbahaya-untuk-Keadilan-dalam-Berusaha.html. Diakses hari
Jumat, 2 Maret 2018. Pukul 22:39 WITA.
Boonchai, R., Desomchoke, P., Jamtarachai. 2011. Trend of Contanct Allergy to
Cosmetic ingredients in Thais Over a Period of 10 Years. Contact
Dermatitis: 65,311.
Djajadisastra. 2005. Teknologi Kosmetik. Departemen Farmasi FMIPA
Universitas Indonesia: Tangerang.
Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi.
Departemen Farmasi FMIPA: Universitas Indonesia, 157-165.
Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGraw Hill: New York, 5778-
586,.
Mantap, bermanfaat juga jadi kolektor laporan
ReplyDelete