Monday 29 April 2019

IDENTIFIKASI TEOFILIN DALAM PRODUK KOSMETIKA SEDIAAN SEMI PADAT SECARA KCKT DENGAN DETEKTOR UV

                                                      BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 
       Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama digunakan untuk mewangikan, membersihkan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan serta melindungi dan memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM RI, 2011). Penggunaan kosmetik harus sesuai dengan aturan pemakaian, misalnya harus sesuai dengan jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur, dan jumlah pemakaiannya sehingga tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan (Djajadisastra, 2005). Bahan kosmetik yang digunakan adalah campuran bahan yang berasal dari alam, seperti pembuatan secara tradisional maupun sintetik. Komponen-komponen yang terkandung didalam kosmetik antara lain bahan pengawet, bahan pewarna dan bahan tabir surya (BPOM RI, 2015).
     Kosmetik saat ini sudah menjadi kebutuhan penting bagi manusia. Kosmetik tidak hanya digunakan untuk fungsi estetika, tetapi berperan juga dalam penyembuhan dan perawatan kulit. Meski bukan merupakan kebutuhan primer, namun kosmetik merupakan salah satu produk yang digunakan secara rutin bahkan dapat digunakan setiap hari secara terus-menerus oleh manusia. Oleh karena itu keamanan kosmetik dari bahan-bahan berbahaya perlu diperhatikan. Kosmetik merupakan produk yang di formulasi dari bahan-bahan kimia dan bahan-bahan aktif yang akan bereaksi ketika diaplikasikan pada jaringan kulit manusia (Muliyawan dan Suriana, 2013). 
       Saat ini kosmetik yang mengandung bahan-bahan berbahaya sudah banyak beredar di kalangan masyarakat. Hal itu dapat terjadi dikarenakan masih banyak permintaan dari konsumen yang menginginkan efek instan terutama untuk perawatan kulit, badan atau memberikan penampilan yang cantik dengan harga murah dan terjangkau. Selama bulan Januari hingga Oktober Tahun 2016, BPOM menerima tiga ratus lima puluh empat pengaduan masyarakat tentang kosmetik ilegal, baik produknya yaitu kosmetik yang tidak memiliki nomor notifikasi dan dijual belikan melalui online maupun sarana produksi kosmetik ilegalnya. Data temuan dari BPOM menunjukkan bahwa 80% kosmetik ilegal adalah kosmetik impor ilegal. Peredaran kosmetik impor ilegal dan mengandung bahan berbahaya ini dapat membahayakan kesehatan konsumen dan berdampak negatif pula terhadap perekonomian nasional karena berpotensi menurunkan daya saing kosmetika yang terdapat di dalam negeri (BPOM RI, 2016). Dari hasil penertiban sepanjang Tahun 2016, BPOM telah berhasil menemukan sembilan ribu tujuh puluh satu jenis (satu juta empat ratus dua puluh empat ribu empat ratus tiga belas kemasan) kosmetik impor ilegal dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari tujuh puluh tujuh koma sembilan miliar rupiah. Selain itu hasil dari pengawasan selama semester II Tahun 2016, BPOM berhasil menemukan tiga puluh sembilan jenis kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang didominasi oleh produk kosmetik dekoratif dan produk pewarna kulit. Bahan berbahaya yang teridentifikasi terkandung dalam temuan tersebut antara lain merkuri, hidrokinon, asam retinoat, serta bahan pewarna merah K3, merah K10 dan Sudan IV. Selain itu, ditemukan pula kosmetik yang mengandung bahan kimia obat yang seharusnya tidak diperbolehkan terkandung dalam kosmetik, yaitu klindamisin dan teofilin (BPOM RI, 2016). 
    Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan identifikasi teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil dari identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kandungan dan cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT.

1.2 Rumusan Masalah 
     Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 
a. Bagaimana cara menganalisis teofilin dalam sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik     KCKT? 
b. Bagaimana kandungan teofilin dalam sampel kosmetika sediaan semi padat yang dianalisis       dengan  KCKT? 

1.3 Tujuan 
     a. Mengetahui cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT. 
     b. Mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. 

1.4 Manfaat 
     a. Bagi Mahasiswa 
- Menerapkan teori-teori yang telah didapatkan dibangku kuliah. 
- Memperoleh bekal sebelum terjun kemasyarakat .
- Memiliki pengetahuan tentang aktifitas-aktifitas suatu perusahaan/ instansi.
    b. Bagi Perguruan Tinggi 
- Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk terjun kelapangan dan masyarakat. 
- Menguji sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam menerapkan teori dibidang praktis. 
- Sebagai bahan evaluasi dalam peningkatan mutu kurikulum di masa depan.
                                                    
                                                        BAB II DASAR TEORI
21. Kosmetika
    Kosmetika berasal dari bahasa Inggris “cosmetic” yang yang berarti alat kecantikan wanita sedangkan dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan “alatuj tajmiil” atau sarana mempercantik diri. Dalam bahasa Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias dan mengatur. Menurut Wall dan Jellinenk (1970), kosmetik dikenal manusia sejak berabad–abad yang lalu. Namun, mulai abad ke–19 pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik serta industri baru dimulai secara besar–besaran pada abad ke-20 (Tranggono, 2007). 
2.2 Sediaan Semi Padat
     Sediaan semi padat dalam bidang farmasi meliputi salep, pasta, emulsi krim, gel, dan busa yang kaku. Sifat umumnya yaitu dapat melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama, sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Pelekatan ini disebabkan oleh sifat rheologis plastik yang terdapat dalam sediaan semi padat yang memungkinkan tetap bentuknya dan melekat sebagai lapisan tipis sampai ada suatu tindakan, yaitu dengan sesuatu kekuatan dari luar, yang mengakibatkan bentuk sediaan semi padat ini akan rusak bentuknya dan mengalir (Lachman, 2008). 
2.3 Bahan Kimia Obat
     Bahan Kimia Obat (BKO) adalah senyawa sintesis atau produk kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern. Penggunaan BKO pada pengobatan modern selalu disertai takaran atau dosis, atau cara pakai yang jelas dan peringatan-peringatan tentang bahaya dalam penggunaannya. Meski demikian, sebagai bahan kimia asing bagi tubuh, tetap saja harus waspada karena banyak kemungkinan terjadinya efek samping. Berdasarkan hasil pengawasan kosmetika melalui sampling dan pengujian laboratorium oleh Badan POM RI terdapat beberapa kosmetika yang dicampur dengan bahan kimia obat. Beberapa bahan kimia obat yang ditemukan antara lain teofilin dan klindamisin (BPOM RI, 2016).
2.4 Teofilin
     Teofilin (1,3-dimetilxantin) merupakan senyawa alkaloid turunan xantin dan termasuk ke dalam kelompok purin. Teofilin sudah lama digunakan untuk mengobati penyakit asma yang bekerja dengan cara merelaksasi otot polos serta menstimulasi sistem syaraf pusat dan otot jantung (Young, 2003). . Ciri fisik teofilin adalah berbentuk serbuk, berwarna putih, tidak berbau, rasanya pahit, dan stabil di udara. Teofilin sukar larut dalam air, mudah larut dalam air panas, larutan alkali hidroksida, dan amonium hidroksida, serta agak sukar larut dalam etanol, kloroform, dan eter (USP, 2003). Kelarutan dari teofilin yaitu larut dalam air, mudah larut dalam air panas, larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam ammonia encer. Teofilin merupakan obat yang sering digunakan dalam terapi penyakit asma. Teofilin memiliki waktu paruh yang relatif pendek dan indeks terapetik yang sempit yaitu 5-20 μg/ml. Formulasi sediaan lepas lambat diharapkan dapat menghasilkan konsentrasi konsentrasi obat dalam darah yang lebih seragam, kadar puncak yang tidak fluktuatif (Bayomi, 2001).
      Teofilin adalah suatu metilxantin yang awalnya ditemukan pada teh dan mulai diisolasi pada akhir abad ke-19. Sampai saat ini teofilin atau bentuk larutan garam etilen diaminnya (aminofilin) masih menjadi terapi standar untuk penyakit asma, namun efek samping yang ditimbulkan dari penggunaannya, antara lain mual, nyeri kepala, dan diuresis serta yang paling ditakutkan adalah aritmia jantung dan kejang (Barnes, 2006). 
                                              
                                                       BAB III METODE KERJA
3.1 Alat
   Alat-alat yang digunakan dalam melakakan identifikasi, antara lain seperangkat alat KCKT (Thermo Scientific Ultimate 3000), kolom berisi oktadesilsilansa C18 (4,6 x 250 mm, ukuran partikel 5 µm), pengolah data pada komputer DELL, detektor UV (Ultra Violet) panjang gelombang 280 nm, sonikator (Elmasonic S 300 H), hot plate magnetic stirrer (Heidolph), vortex mixer (Thermo Scientific), botol vial tertutup, timbangan analitik (Sartorius CPA2245), kertas saring (Whatman No. 42), millipore sampel 0,45 µm, millipore fase gerak 0,45 µm, labu ukur 10 mL, gelas baker 10 mL, erlenmeyer 1000 mL, labu ukur 1000 mL, pipet volume 1 mL, gelas ukur 1000 mL dan stirrer.
3.2 Bahan 
   Bahan-bahan yang digunakan dalam identifikasi adalah sampel kosmetik sediaan semi padat, teofilin BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia), natrium asetat, aqudes, asam asetat glasial, asetonitril.
3.3 Cara Kerja 
    Pembuatan pelarut dilakukan dengan 2 tahap yaitu dengan pembuatan pelarut A dan pelarut B. Mula-mula pelarut A dibuat dengan cara menimbang 1,36 g natrium asetat, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL kemudian ditambahkan dengan aquades 100 mL, digojog, ditambahkan 5 mL asam asetat glasial lalu diencerkan menggunakan aquades sampai tanda batas (Pelarut A). Pelarut B dibuat dengan cara mengambil 70 mL asetonitril kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 mL dan diencerkan menggunakan pelarut A hingga tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 mL dan dihomogenkan menggunan hot plate magnetic stirrer selama kurang lebih 8 menit supaya larutan tercampur secara homogen, larutan disaring menggunkan millipore fase gerak dengan ukuran 0,45 µm supaya tidak terdapat kontaminan dalam pelarut (Pelarut B). 
   Langkah selanjutnya yaitu pembuatan larutan baku, pembuatan larutan baku berfungsi sebagai pembanding. Dalam hal ini larutan baku dijadikan sebagai standar uji untuk sampel yang akan dianalisis, dengan cara menimbang sejumlah kurang lebih 10 mg Teofilin BPFI kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dilarutkan dan diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B1). Sejumlah 1,0 mL larutan baku B1 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B2). Sejumlah 0,5 mL larutan baku B2 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan pelarut B sampai tanda sehingga diperoleh baku dengan konsentrasi 5 µg/mL. Larutan kemudian disaring menggunakan millipore sampel ukuran 0,45 µm lalu dimasukkan ke dalam botol vial tertutup, selanjutnya dilakukan degas selama kurang lebih 15 menit menggunakan sonikator (Larutan A). 
    Dalam pengujian ini dilakukan preparasi sampel kosmetik sediaan semi padat dengan kode sampel 45 dan 133. Pertama, sampel yang akan diuji dipersiapkan terlebih dahulu. Sampel ditimbang kurang lebih 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker 10 mL, ditambahkan sedikit demi sedikit pelarut B kurang lebih 10 mL sambil diaduk, larutan kemudian dihomogenkan menggunakan vortex mixer agar dapat tercampur secara homogen, lalu disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42, hasil filtrat yang didapat disaring kembali meggunakan millipore sampel dengan ukuran 0,45 µm, selanjutnya dimasukkan kedalam botol vial tertutup yang telah dibilas menggunakan pelarut B. Botol vial yang sudah berisi larutan kemudian di degas menggunakan sonikator selama kurang lebih 15 menit, tujuan dilakukannya degas adalah menghilangkan zat-zat pengotor (misalnya air, mineral, dan zat volatil lainnya) yang masih menempel/ terperangkap pada pori/ permukaan padatan tersebut (Larutan B). 
    Cara Penetapannya yaitu larutan A dan larutan B masing-maisng dimasukkan secara bersamaan dan dilakukan penetapan KCKT (Thermo Scientific Ultimate 3000) dengan kondisi analisis: kolom menggunakan baja tahan karat yang berisi oktadesilsilana C18 (4,6 x 250 mm) dengan ukuran partikel 5 µm, fase gerak yang digunakan adalah asetonitril dengan laju alir 1,0 mL per menit serta volume penyuntikan 20 µL, detektor yang digunakan adalah UV (Ultra Violet) dengan panjang gelombang 280 nm.

                                                       BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 
4.1 Identifikasi Sampel Kosmetika Sedian Semi Padat Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan Detektor UV (Ultra Violet) 
     Pada pengujian yang berjudul Identifikasi Sampel Kosmetika Sediaan Semi Padat Secara KCKT dengan Detektor UV bertujuan untuk mengetahui cara analisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT serta mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. Produk sampel kosmetika sediaan semi padat yang diuji adalah anti-aging, dimana penuaan pada kulit wajah memang selalu menjadi hal yang dikhawatirkan pada setiap wanita. Dengan bertambahnya usia, kondisi kulit ini memang tidak akan sama lagi. Kulit wajah menjadi berkurang kekenyalannya serta akan mulai tampak tanda-tanda penuaan seperti garis-garis halus dan munculnya flek hitam, sehingga banyak wanita yang menginginkan kulit wajahnya menjadi seperti muda kembali dengan menggunakan produk anti-aging yang berguna untuk meremajakan kulit wajah. Formulasi yang digunakan dalam produk anti-aging antara lain Conjugated Linoleic Acid (CLA) yang membantu menstimulasi produksi sel kulit baru. Alpha Hydroxy Acids (AHA) yang membantu mengangkat sel kulit mati. Retinol berfungsi menstimulasi produksi kolagen. Cetyl Alcohol membantu meningkatkan kerja retinol, dan Glycerine yang mampu meningkatkan kelembaban kulit dari dalam sehingga kulit tampak lebih kencang. Namun, terdapat beberapa produsen yang menjual produk-produknya dengan menambahkan bahan kimia obat dalam produk anti-aging. Bahan kimia obat yang digunakan adalah teofilin. Teofilin tidak boleh dimasukkan ke dalam kosmetik karena memiliki efek samping yang berbahaya bagi kulit maupun tubuh sehingga perlu dilakukan identifikasi teofilin pada setiap produk kosmetik antiaging. 
    Sejak tahun 1973, undang-undang Federal AS telah melarang merkuri dalam kosmetik di luar jumlah yang dapat dilacak (1 mg / kg) karena kekhawatiran akan toksisitas (Michael dkk., 2018). Krim pemutih kulit adalah salah satu produk kosmetik populer di kalangan pria dan wanita untuk mendapatkan warna kulit yang lebih terang atau sebagai anti-bintik (Olumide dkk., 2008). Diketahui bahwa aplikasi merkuri sebagai bahan aktif dalam kosmetik pencerah kulit telah diterima selama berabad-abad (Boonchai dkk., 2011). Merkuri dikenal sebagai neurotoksikan, dianggap sebagai salah satu ion logam berat yang sangat beracun. Menurut Food and Drug Administration (FDA), konsentrasi maksimum merkuri dalam kosmetik harus kurang dari 1,0 μg g − 1 (Barel dkk., 2014). Bahkan tingkat konsentrasi merkuri yang diizinkan dalam kosmetik rendah, paparan terus menerus pada kulit dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti kerusakan pada otak, ginjal, usus, dan sistem syaraf (Zahir, 2005). Toksisitas unsur ini pada tingkat rendah akan membuat keresahan terhadap masyarakat sehingga perlu adanya pengembangan berbagai metode analitik selektif dan sensitif untuk mengetahui kadar dari beberapa kandungan bahan berbahaya dalam kosmetik. 
     Metode yang umum digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif teofilin adalah metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau sering disebut dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) karena metode tersebut berguna untuk memisahankan sejumlah senyawa organik, anorganik maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian, analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap, penentuan molekul-molekul netral, ionik maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun kualitatif (Gandjar, 2007). Prinsip KCKT adalah pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan interaksi antara analit dengan fase gerak dan fase diam. Keuntungan dari metode KCKT yaitu memiliki kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, dapat menggunakan berbagai detektor, kolom dapat digunakan kembali, dapat dilakukan pada suhu kamar serta ideal untuk pemisahan ion dan molekul besar (Johnson dan Stevenson, 1991). 
    Maksud dan tujuan analisis menggunakan KCKT yaitu didapatkannya pemisahan yang baik dengan waktu proses yang relatif singkat. Untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan maka diperlukan pemilihan pelarut pengembang yang sesuai dengan komponen yang akan dipisahkan, kolom yang digunakan juga harus diperhatikan dan menggunakan detektor yang memadai. Parameter baik atau tidaknya suatu kromatografi didasarkan pada lima faktor, yaitu waktu retensi, faktor kapasitas, efisiensi kolom, resolusi, dan faktor ikutan. Pada KCKT menggunakan fase gerak cair yang dialirkan melalui kolom yang merupakan fase diam menuju ke detektor. Dalam fase gerak terdapat dua pilihan atau jenis, yaitu isokratik yang hanya menggunakan satu macam fase gerak ataupun gradien yang menggunakan lebih dari satu macam fase gerak. Pada identifikasi ini digunakan fase gerak isokratik yang berupa asetonitril sedangkan fase diam yang digunakan berupa padatan (silica gel) yang ditempatkan pada kolom tertutup. Setelah campuran memasuki kolom, terjadi pemisahan senyawasenyawa yang akan keluar atas dasar kepolaran yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi kekuatan interaksi antara senyawa dengan fase diam. Senyawasenyawa yang kurang kuat akan keluar terlebih dahulu, dan sebaliknya senyawa yang berinteraksi kuat dengan fase diam akan keluar lebih lama. Senyawa yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Dari kromatogram didapatkan hasil waktu retensi (tR) dan luas area/ tinggi puncak. Informasi waktu retensi (tR) digunakan untuk analisis kualitatif sedangkan luas area atau tinggi puncak untuk analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dengan teknik KCKT didasarkan pada perbandingan waktu retensi yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi baku/ standar. Puncak yang muncul dalam kromatogram merupakan puncak komponen teofilin karena yang akan dianalisis adalah kandungan teofilin yang terdapat dalam sampel kosmetika sediaan semi padat. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara perhitungan kadar sampel berdasarkan % area dan konsentrasi menggunakan metode kurva kalibrasi larutan standar. Namun dalam identifikasi ini hanya dilakukan analisis kualitatif karena sampel yang di identifikasi negatif mengandung teofilin. 
     Teofilin memiliki karakteristik yang bersifat polar sehingga memungkinkan dilakukan analisis dengan KCKT menggunakan detektor UV, dengan fase diam menggunakan kolom C18 (4,6 x 250 mm) yang berisi oktadesilsilansa yang bersifat non polar dan fase gerak asetonitril bersifat polar. Fase gerak yang digunakan ialah asetonitril sehingga dapat terjadi elusi karena adanya interaksi teofilin polar dengan fase gerak yang bersifat polar juga. Fase gerak selain berfungsi membawa komponen-komponen campuran menuju detektor, fase gerak juga dapat berinteraksi dengan solut-solut. Sebelum dilakukan pengujian sampel, maka terlebih dahulu dilakukan Uji Kesesuaiaan Sistem (UKS) yang bertujuan untuk memberikan kestabilan serta kesiapan sistem analisa KCKT. Tolak ukur dalam UKS adalah presentase nilai Relative Standart Deviation (RSD) berdasarkan luas area dan waktu retensinya yaitu sebesar tidak lebih dari 2%. UKS dilakukan 6x penyuntikan larutan baku teofilin (dapat dilihat pada lampiran halaman 36). Dilakukan 6x penyuntikan karena tiap kosmetik memiliki standar UKS yang berbeda-beda. Dan pada larutan baku teofilin memiliki standar UKS 6x penyuntikan. Data uji kesesuaian sistem dapat dilihat pada Tabel 4.1. 
                        Tabel 4.1. Data Uji Kesesuaian Sistem KCKT Larutan Baku Teofilin
     Dari hasil perhitungan didapatkan persentase nilai % RSD waktu retensi dan luas area adalah 0,746% dan 0,127%. Dapat disimpulkan bahwa perolehan nilai UKS memenuhi persyaratan karena kurang dari 2%. Dan dapat disimpulkan juga bahwa sistem sudah stabil dan siap digunakan untuk analisa KCKT. 
    Cara pengujiannya yaitu larutan A (baku) dan larutan B (sampel) yang telah dibuat tadi disuntikkan secara bersamaan ke dalam KCKT. Dalam penyuntikan larutan sampel kosmetik dengan kode 45 dan 133, masing-masing dilakukan secara duplo karena di BBPOM terdapat peraturan standar sistem jaminan mutu pada sampel yang mana saat identifikasi menggunakan KCKT harus 2x penyuntikan untuk meyakinkan pada hasil sampel yang akan dianalisis. Dengan menggunakan kolom C18 yang berisi oktadesilsilana dengan ukuran partikel 5µm dan menggunakan fase gerak asetonitril. Kecepatan alir yang digunakan adalah 1,0 mL/menit, volume penyuntikan 20 µL dan dideteksi dengan detektor UV pada pada panjang gelombang 280 nm. Di Laboratorium Kosmetika untuk identifikasi teofilin dalam produk kosmetika sediaan semi padat secara KCKT menggunakan detektor UV karena deteksi komponen sampel didasarkan pada absorpsi sinar ultraviolet. Detektor UV digunakan dalam suatu analisis jika senyawa yang akan dianalisis menerima panjang gelombang maksimum pada rentang 200-800 nm. Detektor UV merupakan detektor yang paling luas digunakan karena sensitivitas dan reprodusibelitasnya yang tinggi serta mudah dalam pengoperasiaannya. Detektor UV dilengkapi dengan pengatur panjang gelombang sehingga panjang gelombang UV yang digunakan dapat dipilih dan disesuaikan dengan jenis cuplikan yang diukur. Walaupun demikian, biasanya panjang gelombang UV yang digunakan adalah pada 254 nm karena kebanyakan senyawa organik menyerap sinar UV pada sekitar panjang gelombang tersebut, tetapi dalam pengujian produk kosmetika sediaan semi padat digunakan panjang gelombang 280 nm karena teofilin dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 280 nm. 
      Dilakukan identifikasi terhadap sampel kosmetika sediaan semi padat yang beredar di pasaran, dengan tujuan untuk mengetahui cara analisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT serta mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. Hasil yang didapat dari sampel yang sudah diidentifikasi dengan KCKT dapat dilihat pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3. 
                                         Tabel 4.2. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 45
     Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 45.01 dan 45.02 yang telah diuji menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin.
                                         Tabel 4.3. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 133
      Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 133.01 dan 133.02 yang telah diuji menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin. 
      Hasil analisis dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang terdeteksi pada larutan sampel (dapat dilihat pada lampiran halaman 37 dan 38) terhadap larutan baku teofilin. Sampel dikatakan positif mengandung teofilin atau tidak, bila waktu retensi dari sampel sama dengan waktu retensi dari larutan baku teofilin. Hasil analisis yang dilakukan terhadap sampel teofilin, diperoleh hasil bahwa sampel tersebut dikatakan negatif mengandung teofilin karena waktu retensi yang didapat pada sampel berbeda dengan dengan larutan bakunya. 
        Berdasarkan hasil penetapan teofilin dengan KCKT diperoleh waktu retensi larutan baku teofilin yaitu 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi sampel uji dengan kode 45 dan 133 yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang yang sama yaitu 280 nm. Hasil waktu retensi dalam sampel yang tidak didapat (n.a) dalam kromatogram menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin.
                                                              BAB V PENUTUP 
5.1 Kesimpulan
      Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 
1. Analisis sampel kosmetika sediaan semi padat dapat dianalisis menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan detektor UV (Ultra Violet) dengan panjang gelombang 280 nm. 
2. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan menggunakan KCKT dengan detektor UV (Ultra Violet) dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) sampel kosmetika sediaan semi padat tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat puncak area yang muncul pada waktu retensi standar baku teofilin dan hasil rata-rata waktu retensi pada larutan baku teofilin didapatkan 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi dalam sampel yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang yang sama (λ 280 nm). 

                                                       DAFTAR PUSTAKA 
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. 
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. 
Barnes PJ. 2006. Drugs for asthma. British Journal of Pharmacolody. 147: S297– S303. 
Barrel, A.O., Paye, M., Maibach, H.I. 2014. Handbook of Cosmetic Science and Technology. CRC Press: Boca Raton. 
Bayomi, M.A., Al-Suwayeh, S.A., El-Helw, A.M. 2001. Excipient-Excipient Interaction in the Design of Sustained-Release Theophylline Tablets: In Vitro and In Vivo Evaluation. Drug Development and Industrial Pharmacy. Marcel Dekker Inc: New York, 27(6), 499 – 506. 
BPOM RI. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. Jakarta: 3. 
BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.23.08.11.07517 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika, Direktorat Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta: 20. 
BPOM RI. 2015. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta : 7. 
BPOM RI. 2016. [online] https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/339/PENERTIBA N-KOSMETIKA-IMPOR-ILEGAL-DAN-KOSMETIKAMENGANDUNG-BAHAN-BERBAHAYA-Berantas-Produk-Ilegaldan-Berbahaya-untuk-Keadilan-dalam-Berusaha.html. Diakses hari Jumat, 2 Maret 2018. Pukul 22:39 WITA. 
Boonchai, R., Desomchoke, P., Jamtarachai. 2011. Trend of Contanct Allergy to Cosmetic ingredients in Thais Over a Period of 10 Years. Contact Dermatitis: 65,311. 
Djajadisastra. 2005. Teknologi Kosmetik. Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia: Tangerang. 
Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Jogjakarta. 
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Departemen Farmasi FMIPA: Universitas Indonesia, 157-165. 
Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGraw Hill: New York, 5778- 586,.

1 comment: