Tuesday 30 April 2019

Kromatografi dan Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared (FT-IR)

 Kromatografi
        Kromatografi merupakan suatu metode yang khususnya digunakan dalam pemisahan komponen-komponen dalam suatu sampel yang terdistribusi dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam. Fasa diam merupakan zat yang dilalui oleh fasa gerak yang berfungsi untuk memisahkan komponen-komponen campuran pada sampel. Fasa diam dapat berupa padatan ataupun cairan yang diletakkan diatas padatan atau gel. Fasa diam dapat dibuat dalam bentuk kolom, disebarkan sebagai suatu lapisan tipis atau didistribusikan sebagai film. Fasa gerak adalah suatu zat yang digunakan untuk memisahkan komponen-komponen yang ada pada campuran sampel, fasa gerak dapat berupa gas atau cairan (Rubiyanto, 2017).
         a. Kromatografi lapis tipis (KLT)
            Metode kromatografi lapis tipis merupakan metode analisis kualitatif maupun kuantitatif yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu senyawa (Fauziyah, 2012). Kromatografi lapis tipis merupakan suatu cara pemisahan komponen senyawa kimia dalam dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diam. Kromatografi lapis tipis dibuat dengan berbagai eluen (pelarut) untuk mengetahui eluen atau pelarut yang dapat memperoleh komponen terbanyak dari suatu senyawa (Hayani dan May, 2005).
        b. Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP)
           Kromatografi lapis tipis preparatif atau sering disebut dengan KLTP merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh senyawa murninya (Gritter dkk., 1991). KLTP merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling sederhana (Hostettmann dkk., 1995). Ukuran plat kaca kromatografi yang biasanya dipakai adalah 20 x 20 cm, namun ketebalan lapisan dan ukuran plat mempengaruhi jumlah bahan yang akan dipisahkan (Stahl, 1969). KLTP adalah cara yang ideal untuk pemisahan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g) (Gritter dkk., 1991). Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram tetapi sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram (Hostettmann dkk., 1995). Keuntungan KLTP dari kromatografi kolom adalah pemisahan yang lebih baik karena waktu yang relatif cepat, pemisahan yang dihasilkan berupa bercak yang tidak bergerak, mudah mengambil senyawa-senyawa yang terpisah secara individu dengan mengerok pada bagian yang mau diambil dan mengumpulkan tiaptiap lapisan serta alat yang digunakan sederhana (Gasparic dan Churacek, 1978).

   Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared (FT-IR)

       Spektrofotometer Fourier Transformed Infrared atau FT-IR merupakan alat yang digunakan untuk mengukur gugus fungsi secara cepat tanpa merusaknya dan mampu menganalisis beberapa komponen secara serentak (Rohaeti dkk., 2011). Spektrum inframerah suatu senyawa dapat dengan mudah diperoleh dalam beberapa menit. Sedikit sampel senyawa diletakkan dalam instrumen dengan sumber radiasi inframerah sehingga secara otomatis spektroskopi membaca sejumlah radiasi yang menembus sampel dengan kisaran frekuensi tertentu (Tabel 1.) dan merekam pada kertas berapa persen radiasi yang ditransmisikan. Radiasi yang diserap oleh molekul muncul sebagai pita pada spektrum. 
                   Tabel 1. Frekuensi regangan inframerah pada beberapa jenis ikatan

DAFTAR PUSTAKA

Fauziyah, B. 2012. Analisis Kualitatif Fenilalanin secara Kromatografi Kertas dan Kromatografi Lapis Tipis (Studi Awal Pengembangan Metode Deteksi Penyakit Phenylketonuria). Saintis. Vol. 1. No. 2: 10-18.
Gasparic, J dan Churacek, J. 1978. Laboratory Handbook of Paper and Thin Layer Chromatography. John Wiley and Sons: New York.Gelling, I. R. 1991. Epoxidized Natural Rubber. Journal Natural Rubber. Vol. 6. No.1: 184.
Gritter, R.J., Bobbic, J.N., dan Schwarting, A. E. 1991. Pengantar Kromatografi Edisi. Kedua Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB Press: Bandung.
Hayani, Enid dan May, S. 2005. Teknik Pemisahan Komponen Ekstrak Purwoceng Secara Kromatografi Lapis Tipis. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 10. No. 2: 83-85.
Hostettmann, K., Hostettman, M., dan Marston A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Isolaso Senyawa Alam (terjemahan, Kosasih P.). ITB Press: Bandung.
Rohaeti, E., Heryant, R., Rafi, M., Wahyuningrum, A., dan Darusman, L.K. 2011. Prediksi Kadar Flavonoid Total Tempuyung (Sonchus arvensis L.) menggunakan Kombinasi Spektroskopi IR dengan Regresi Kuadrat Terkecil Parsial. Jurnal Kimia. Vol. 5. No. 2: 101-108. 
Rubiyanto, Dwiarso. 2017. Teknik Dasar Ktromatografi. Deepublish: Yogyakarta.
Silverstein, R.M., Webster, F.X. dan Kiemle, D.J. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 7th Edition. State University of New York. John Wiley & Sons, Inc.
Stahl, E. 1969. Thin Layer Chromatography a Laboratory Handbook. Second Edition, Springer International Student Edition, Tokyo, Toppan Company Limited: Japan.

Microplate Reader dan Spektroskopi 1H-NMR

                                                              Microplate Reader


       Microplate reader merupakan alat yang digunakan untuk pembacaan lempeng mikro. Microplate reader memiliki prinsip sama dengan spektrofotometri yang menggunakan metode konvensional namun yang membedakan ialah microplate reader dapat melakukan analisis dengan jumlah sampel yang banyak (Heredia dkk., 2006). Perbedaan dengan spektrofotmeter konvensional yang memfasilitasi pembacaan pada berbagai panjang gelombang, microplate reader memiliki filter atau kisi-kisi difraksi yang membatasi rentang panjang gelombang yang digunakan dalam microplate, umumnya antara 400 sampai 750 nm. Namun, beberapa microplate reader bekerja dalam rentang ultraviolet dan melakukan analisis antara 340-700 nm. 
    Sistem optik dimanfaatkan oleh banyak produsen menggunakan serat optik untuk menyuplai cahaya untuk sumur lempeng mikro yang berisi sampel. Berkas cahaya yang melewati sampel memiliki diameter yang berkisar antara 1 sampai 3 mm. Suatu sistem deteksi untuk mendeteksi cahaya yang bersal dari sampel, menguatkan sinyal dan menentukan absorbansi sampel. Selanjutnya suatu sistem pembacaan mengubahnya menjadi data yang memungkinkan interpretasi hasil pengujian. Skema microplate reader dapat dilihat pada Gambar 1.

                                                     Gambar 1. Skema Microplate Reader
Keterangan: 1. Sumber cahaya; 2. Diafragma; 3. Lensa kondensor;
4. Filter; 5. Fiber bundle; 6. Lensa fokuss; 7. Microplate;
8. Detektor 

Spektroskopi 1H-NMR

       Spektrofotometer 1H-NMR merupakan alat yang digunakan untuk menentukan kedudukan proton pada suatu senyawa serta dapat untuk menentukan perbandingan jumlah relatif proton-proton tersebut yaitu dengan mengukur intensitas dari signalsignal proton dengan alat intergrator yang ada pada 1H-NMR (Silverstein dkk., 1991). 
        Sifat yang mendasari prinsip resonansi magnetik inti sebagai alat analisis dengan tujuan elusidasi struktur ialah inti-inti atom tertentu seperti 1H, 13C, 19F dan 31P yang dapat berperilaku sebagai magnet batang kecil. Atom hidrogen memiliki beberapa isotop yaitu 2H (deuterium) dan 3H (tritium) namun kelimpahan terbesar di alam adalah 1H yaitu sebesar 99,985% (Kosela, 2010). 
       Terbentuknya signal-signal terjadi karena perbedaan lingkungan kimia dari atom hidrogen. Perbedaan kedudukan tersebut akan memberikan frekuensi resonansi yang berbeda. Perbedaan kedudukan dalam kurva signal 1H-NMR dikenal sebagai geseran kimia. Jika semakin kecil frekuensi resonansinya maka semakin besar kerapatan elektronnya dan semakin kecil juga pergeseran kimia proton tersebut dan sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kimia adalah faktor induktif, faktor anisotropik, faktor sterik, ikatan hidrogen dan pelarut yang digunakan (Silverstein dkk., 1991). Langkah yang dilakukan dalam menginterpretasikan kurva spektrum 1H-NMR adalah jumlah sinyal menerangkan seberapa banyak jenis proton yang berada pada molekul analit. Kedudukan sinyal menerangkan tentang jenis lingkungan kimia tempat proton tersebut berada. Intensitas sinyal menerangkan jumlah dari proton pada lingkungan kimia tertentu. Pemecahan puncak (splitting) menerangkan tentang lingkungan kimia dari proton lainnya yaitu proton yang berdekatan (bertetangga) (Silverstein dkk., 1991).

                                                               DAFTAR PUSTAKA

Heredia, T., Adams, D., Fields, K., Held, P., dan Harbertson, J. 2006. Evaluation of a Comprehensive Red Wine Phenolics Assay Using a Microplate Reader. Am. J. Enol. Vol. 57. No. 4: 497-502.
Kosela, S. 2010. Cara Mudah dan Sederhana Penentuan Struktur Molekul Berdasarkan Spektra Data (NMR, Mass, IR, UV). Penerbit Lembaga FE UI: Jakarta. 
Silverstein, R.M., Bassler, G.C., dan Morril, T.C. 1991. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 4 th Edition. John Wiley and Sons Inc: New York.

Monday 29 April 2019

Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS) dan Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS)

                                 Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS)

   Spektrometri massa adalah teknik analitik yang memberikan informasi kualitatif berupa struktur dan kuantitatif berupa massa molekul atau konsentrasi pada molekul analit setelah diubah menjadi ion. Spektrometri massa yang menggunakan ESI disebut Electrospray Ionization-Mass Spectrometry (ESI-MS). 
    Prinsip kerja dari alat ini ketika senyawa dianalisis, senyawa ditembak dengan elektron sehingga elektron dalam molekul akan terlempar keluar dan akan didapatkan kation molekul bermuatan positif. Bagian dari kation ini pada waktu bertemu dengan elektron akan menerima energi yang tinggi yang akan menyebabkan penguraian lebih lanjut kation molekul menjadi fragmen yang lebih kecil (fragmentasi). Kation dan fragmen yang bermuatan positif akan dipercepat oleh tegangan tarikan dan dibelokkan dalam ruang pengurai. Bagian ini terdiri atas tabung logam yang terdapat diantara dua kutub magnet. Medan magnet akan membelokkan bagian yang bermuatan dari arah garis lurus aliran menjadi pita yang melengkung yang dengan perubahan kontinyu medan magnet atau tegangan tarikan kation sesuai dengan massanya akan diregritasi berurutan sebagai spektrum massa (Roth dan Gottfried, 1998). ESI-MS juga terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu sumber ion, analisa massa dan detektor. ESI menggunakan energi listrik untuk membantu transfer ion dari larutan ke fasa gas sebelum molekul mengalami analisis spektrometri massa (Banerjee dan Mazumdar, 2012).                                       
     
                                Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS)


 Gas Chromatography-Spectrometer Mass (GC-MS) adalah metode yang mengkombinasikan kromatografi gas dan spektrometer massa untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda dalam analisis sampel. Gas Chromatography merupakan metode dinamis yang digunakan untuk memisahkan dan mendeteksi senyawasenyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran (Gandjar & Rohman, 2007). Sedangkan Spectrometer Mass adalah suatu metode untuk mendapatkan berat molekul dengan cara mencari perbandingan massa terhadap muatan dari ion yang muatannya diketahui dengan mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam. 
  Prinsip kerja GC-MS adalah sampel yang berupa cairan diinjeksikan ke dalam injektor kemudian diuapkan. Sampel yang berbentuk uap dibawa oleh gas pembawa menuju kolom untuk proses pemisahan. Setelah terpisah, masing-masing komponen akan melalui ruang pengion dan dibombardir oleh elektron sehingga terjadi ionisasi. Fragmen-fragmen ion yang dihasilkan akan ditangkap oleh detektor dan dihasilkan spektrum massa.

                                                         DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, S. dan Mazumdar, S. 2012. Electrospray Ionization Mass Spectrometry: A tecchnique to Access the Information beyond the Molecular Weight of the Analyte. International Journal Analytical Chemistry. Vol. 2012: 282574.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Roth, H.J dan Gottfried, B. 1998. Analisis Farmasi. UGM Press: Yogyakarta.

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

                                 KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

   Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960 dan 1970. Saat ini, sudah sangat luas digunakan sebagai teknik pemisahan baik untuk analisis sampel dan pemurnian dalam variasi sampel baik dalam bidang farmasi, bioteknologi, lingkungan, polimer dan industri makanan (Settle, 1997). Hakekatnya kromatografi merupakan metode pemisahan dimana komponen yang akan dipisahkan terdustribusi diantara dua fase yang tidak saling bercampur yaitu fase diam dan fase gerak (Wellings, 2006). 
     Pada KCKT, fase diam berupa kolom modern dengan partikel yang sangat kecil (ditempatkan dalam kolom tertutup), sedangkan fase gerak berupa cairan yang dialirkan ke kolom menggunakan bantuan pompa dan terdapat detektor yang sensitive (McMaster, 2007). Berdasarkan mekanisme pemisahannya, diklasifikasikan berdasarkan adsorpsi, partisi, pertukaran ion dan berdasarkan ekslusi ukuran. Pada partisi dibedakan lagi menjadi kromatografi fase normal dan fase terbalik (Moffat, 2004). 
      Kromatografi adsorpsi terjadi interaksi antara solut pada permukaan fase diam, dimana fase diam berupa adsorben polar padat (silika, alumina). Kromatografi partisi berdasarkan partisi analit dalam fase gerak cair dan fase diam cair yang tidak saling bercampur dan terikat pada penyangga kolom karena adanya perbedaan kelarutan komponen sampel dalam kedua fase. Kromatografi pertukaran ion, berdasarkan pertukarn anion, atau kation pada fase diam dengan solut. Sedangkan kromatografi eksklusi ukuran, solut dipisahkan berdasarkan ukuran molekul, molekul dengan ukuran besar akan terelusi pertama dari kolom tersebut (Moffat, 2004). 
       Pada kromatografi partisi, terdapat perbedaan berdasarkan polaritas dari fase diam dan fase gerak yaitu (Harvey, 2000): 
1. Fase Normal 
   Pada kromatografi fase normal, fase diam polar sedangkan fase geraknya adalah non polar. Campuran senyawa polar akan tertahan lebih lama di dalam kolom dibandingkan dengan senyawa non polar. Sehingga senyawa non polar akan keluar dari kolom lebih cepat dibandingkan dengan senyawa polar. Fase diam dapat mengandung gugus siano, diol atau amino. 
2. Fase Terbalik 
     Kromatografi fase terbalik, yang umunya digunakan untuk analisis. Fase diam pada fase terbalik bersifat non polar, sedangkan fase gerak bersifat polar. Fase diam umumnya mengandung senyawa non polar yang mempunyai rantai karbon yang panjang, umumnya gugus n-octyl (C8) or n-octyldecyl (C18). Sehingga senyawa polar akan keluar lebih cepat dari kolom. 
    Pada dasarnya peralatan pokok yang selalu (harus) ada di dalam suatu sistem KCKT adalah sebagai berikut: 
a) Resevoir untuk fase gerak 
b) Pompa 
c) Injektor 
d) Kolom 
e) Detektor 
f) Sistem pengolah data (Recorder/ Integrator/ PC-Based Software) 
g) Termostat untuk kolom dan detektor apabila diperlukan (Kantasubrata, 2004). 
3. Solvent Resevoir 
     Sesuai dengan namanya, fungsi solvent reservoir adalah untuk menampung fase gerak yang akan dilirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa. Solvent resevoir biasanya terbuat dari gelas dengan volume yang bervariasi bergantung dari jumlah/ volume fase gerak yang dibutuhkan. 
4. Pompa 
     Fungsi pompa di dalam sistem KCKT adalah untuk mendorong fase gerak masuk ke dalam kolom. Tekanan pompa yang diperlukan harus cukup tinggi karena kolom KCKT berisi partikel-partikel yang sangat kecil. Pada dasarnya pompa KCKT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a) Dapat memompa fase gerak secara konstan 
b) Mempunyai batas tekanan maksimum yang cukup tinggi (400 psi) 
c) Inert terhadap pelarut-pelarut organik (tahan terhadap fase gerak) 
d) Mempunyai noise yang rendah 
e) Cara kerja sederhana 
f) Mempunyai fluktuasi tekanan yang minimal 
5. Injektor 
    Fungsi injektor pada sistem KCKT adalah tempat untuk memasukkan cuplikan dengan bantuan syringe. Jenis injektor yang sering digunakan adalah ijektor dengan sistem loop, yaitu jenis injektor yang menggunakan katup dan loop. 
6. Kolom 
      Kolom pada sistem KCKT merupakan jantung dari sistem tersebut, karena di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen cuplikan. Jadi berhasil tidaknya suatu analisis atau pemisahan komponen-komponen sangat bergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan dapat terjadi karena fase diam yang terdapat di dalam kolom dapat mengadakan interaksi dengan berbagai komponen dengan kekuatan berbeda satu sama lain, sehingga masing-masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi (tR) yang juga berbeda. 
7. Detektor 
   Fungsi detektor dalam KCKT adalah untuk mendeteksi komponen-komponen cuplikan hasil pemisahan kolom secara kualitatif dan kuantitatif bergantung pada kebutuhan analisis. Detektor KCKT yang baik harus mempunyai sensitifitas yang cukup tinggi atau mempunyai limit deteksi yang sangat kecil, sehingga dapat memberikan perubahan sinyal yang besar pada perubahan konsentrasi komponen cuplikan yang kecil. Detektor yang sensitif akan sangat membantu analisis kualitatif, terutama untuk trace analysis. Dua jenis detektor yang dikenal didalam KCKT adalah: 
a) Detektor Universal 
  Yaitu detektor yang yang bisa langsung digabungkan ke dalam instrument KCKT tanpa memerlukan tambahan sistem khusus. Contoh: detektor UV-Vis, detektor indeks refraksi, detektor flourescence, detektor diode array dan detektor hantaran. 
b) Detektor Khusus 
   Yaitu detektor yang memerlukan sistem khusus agar bisa digunakan sebagai detektor dalam KCKT, contoh: FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), MS (Mass Spectrometer), dan sebagainya. c) Detektor Photo Diode Array 
   Kelebihan detektor Photo Diode Array (PDA) adalah mampu membuat spectrum senyawa dalam waktu 0,1 detik. Kelebihan ini menjawab semua kesulitan yang tak dapat dilakukan oleh detektor spektrofotometer yang lain, yaitu waktu elusi komponen melalui sel aliran detektor yang hanya 1 detik tidak cukup bagi peralatan untuk melakukan scanning untuk pembentukan spectrum. Selain itu detektor PDA mampu menampilkan kromatogram dalam bentuk tiga dimensi, yaitu hubungan antara waktu, absorpsi dan panjang gelombang (Kantasubrata, 2004). 
8. Sistem Pengolah Data (Recorder/ Integrator/ Komputer) 
    Sistem KCKT memerlukan recorder (pencatat) sebagai system pencatat yang berkualitas baik dan mampu menampilkan kromatogram dengan jelas, tepat dan cukup peka. Keuntungan KCKT (Harmita, 2006), antara lain : 
a) Waktu analisis cepat Waktu yang diperlukan biasanya kurang dari 1 jam, seringkali hanya 15 menit hingga 30 menit. Untuk analisis yang mudah waktu yang diperlukan kurang dari 5 menit. 
b) Daya pisahnya baik 
c) Peka Kepekaannya sangat bergantung pada jenis detektor dan eluen yang digunakan. 
d) Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi 
e) Kolom dapat dipakai kembali 
f) Dapat digunakan untuk molekul besar dan kecil 
g) Mudah untuk memperoleh kembali cuplikan Tidak seperti kebanyakan detektor dalam kromatografi gas, detektor tidak merusak komponen zat yang dianalisis, sehingga zat yang telah dielusi dapat dikumpulkan dengan mudah setelah melewati detektor. 
h) Dapat menghitung sampel dengan kadar yang sangat rendah (bergantung pada detektor yang digunakan) 

                                                            DAFTAR PUSTAKA

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGraw Hill: New York, 5778- 586,.
McMaster, M.C. 2007. HPLC A Partical User’s Guide 2th Ed. John Willey & Sons: USA,3-13.
Moffat, A. C., Osselton, M. D., dan Widdop, B. 2004. Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons,[online]. http://mtnviewfarm.net/drugs-poisons-i006.html. Diakses hari Minggu, 4 Maret 2018. Pukul 13:45 WITA.
Settle, F.A. 1997. Quality Control of Herbal Medicine: Chromatographic Finger Printing and Screening for Adulterants. Nasional University of Singapore.
Wellings, D.A., 2006. A Practical Handbook of Preparative HPLC. Elservier, Ltd. 1-5. UK.

IDENTIFIKASI TEOFILIN DALAM PRODUK KOSMETIKA SEDIAAN SEMI PADAT SECARA KCKT DENGAN DETEKTOR UV

                                                      BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 
       Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama digunakan untuk mewangikan, membersihkan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan serta melindungi dan memelihara tubuh pada kondisi baik (BPOM RI, 2011). Penggunaan kosmetik harus sesuai dengan aturan pemakaian, misalnya harus sesuai dengan jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur, dan jumlah pemakaiannya sehingga tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan (Djajadisastra, 2005). Bahan kosmetik yang digunakan adalah campuran bahan yang berasal dari alam, seperti pembuatan secara tradisional maupun sintetik. Komponen-komponen yang terkandung didalam kosmetik antara lain bahan pengawet, bahan pewarna dan bahan tabir surya (BPOM RI, 2015).
     Kosmetik saat ini sudah menjadi kebutuhan penting bagi manusia. Kosmetik tidak hanya digunakan untuk fungsi estetika, tetapi berperan juga dalam penyembuhan dan perawatan kulit. Meski bukan merupakan kebutuhan primer, namun kosmetik merupakan salah satu produk yang digunakan secara rutin bahkan dapat digunakan setiap hari secara terus-menerus oleh manusia. Oleh karena itu keamanan kosmetik dari bahan-bahan berbahaya perlu diperhatikan. Kosmetik merupakan produk yang di formulasi dari bahan-bahan kimia dan bahan-bahan aktif yang akan bereaksi ketika diaplikasikan pada jaringan kulit manusia (Muliyawan dan Suriana, 2013). 
       Saat ini kosmetik yang mengandung bahan-bahan berbahaya sudah banyak beredar di kalangan masyarakat. Hal itu dapat terjadi dikarenakan masih banyak permintaan dari konsumen yang menginginkan efek instan terutama untuk perawatan kulit, badan atau memberikan penampilan yang cantik dengan harga murah dan terjangkau. Selama bulan Januari hingga Oktober Tahun 2016, BPOM menerima tiga ratus lima puluh empat pengaduan masyarakat tentang kosmetik ilegal, baik produknya yaitu kosmetik yang tidak memiliki nomor notifikasi dan dijual belikan melalui online maupun sarana produksi kosmetik ilegalnya. Data temuan dari BPOM menunjukkan bahwa 80% kosmetik ilegal adalah kosmetik impor ilegal. Peredaran kosmetik impor ilegal dan mengandung bahan berbahaya ini dapat membahayakan kesehatan konsumen dan berdampak negatif pula terhadap perekonomian nasional karena berpotensi menurunkan daya saing kosmetika yang terdapat di dalam negeri (BPOM RI, 2016). Dari hasil penertiban sepanjang Tahun 2016, BPOM telah berhasil menemukan sembilan ribu tujuh puluh satu jenis (satu juta empat ratus dua puluh empat ribu empat ratus tiga belas kemasan) kosmetik impor ilegal dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari tujuh puluh tujuh koma sembilan miliar rupiah. Selain itu hasil dari pengawasan selama semester II Tahun 2016, BPOM berhasil menemukan tiga puluh sembilan jenis kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang didominasi oleh produk kosmetik dekoratif dan produk pewarna kulit. Bahan berbahaya yang teridentifikasi terkandung dalam temuan tersebut antara lain merkuri, hidrokinon, asam retinoat, serta bahan pewarna merah K3, merah K10 dan Sudan IV. Selain itu, ditemukan pula kosmetik yang mengandung bahan kimia obat yang seharusnya tidak diperbolehkan terkandung dalam kosmetik, yaitu klindamisin dan teofilin (BPOM RI, 2016). 
    Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan dilakukan identifikasi teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Hasil dari identifikasi ini bertujuan untuk mengetahui kandungan dan cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT.

1.2 Rumusan Masalah 
     Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 
a. Bagaimana cara menganalisis teofilin dalam sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik     KCKT? 
b. Bagaimana kandungan teofilin dalam sampel kosmetika sediaan semi padat yang dianalisis       dengan  KCKT? 

1.3 Tujuan 
     a. Mengetahui cara menganalisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT. 
     b. Mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. 

1.4 Manfaat 
     a. Bagi Mahasiswa 
- Menerapkan teori-teori yang telah didapatkan dibangku kuliah. 
- Memperoleh bekal sebelum terjun kemasyarakat .
- Memiliki pengetahuan tentang aktifitas-aktifitas suatu perusahaan/ instansi.
    b. Bagi Perguruan Tinggi 
- Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk terjun kelapangan dan masyarakat. 
- Menguji sejauh mana kemampuan mahasiswa dalam menerapkan teori dibidang praktis. 
- Sebagai bahan evaluasi dalam peningkatan mutu kurikulum di masa depan.
                                                    
                                                        BAB II DASAR TEORI
21. Kosmetika
    Kosmetika berasal dari bahasa Inggris “cosmetic” yang yang berarti alat kecantikan wanita sedangkan dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan “alatuj tajmiil” atau sarana mempercantik diri. Dalam bahasa Yunani “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias dan mengatur. Menurut Wall dan Jellinenk (1970), kosmetik dikenal manusia sejak berabad–abad yang lalu. Namun, mulai abad ke–19 pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik serta industri baru dimulai secara besar–besaran pada abad ke-20 (Tranggono, 2007). 
2.2 Sediaan Semi Padat
     Sediaan semi padat dalam bidang farmasi meliputi salep, pasta, emulsi krim, gel, dan busa yang kaku. Sifat umumnya yaitu dapat melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama, sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Pelekatan ini disebabkan oleh sifat rheologis plastik yang terdapat dalam sediaan semi padat yang memungkinkan tetap bentuknya dan melekat sebagai lapisan tipis sampai ada suatu tindakan, yaitu dengan sesuatu kekuatan dari luar, yang mengakibatkan bentuk sediaan semi padat ini akan rusak bentuknya dan mengalir (Lachman, 2008). 
2.3 Bahan Kimia Obat
     Bahan Kimia Obat (BKO) adalah senyawa sintesis atau produk kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern. Penggunaan BKO pada pengobatan modern selalu disertai takaran atau dosis, atau cara pakai yang jelas dan peringatan-peringatan tentang bahaya dalam penggunaannya. Meski demikian, sebagai bahan kimia asing bagi tubuh, tetap saja harus waspada karena banyak kemungkinan terjadinya efek samping. Berdasarkan hasil pengawasan kosmetika melalui sampling dan pengujian laboratorium oleh Badan POM RI terdapat beberapa kosmetika yang dicampur dengan bahan kimia obat. Beberapa bahan kimia obat yang ditemukan antara lain teofilin dan klindamisin (BPOM RI, 2016).
2.4 Teofilin
     Teofilin (1,3-dimetilxantin) merupakan senyawa alkaloid turunan xantin dan termasuk ke dalam kelompok purin. Teofilin sudah lama digunakan untuk mengobati penyakit asma yang bekerja dengan cara merelaksasi otot polos serta menstimulasi sistem syaraf pusat dan otot jantung (Young, 2003). . Ciri fisik teofilin adalah berbentuk serbuk, berwarna putih, tidak berbau, rasanya pahit, dan stabil di udara. Teofilin sukar larut dalam air, mudah larut dalam air panas, larutan alkali hidroksida, dan amonium hidroksida, serta agak sukar larut dalam etanol, kloroform, dan eter (USP, 2003). Kelarutan dari teofilin yaitu larut dalam air, mudah larut dalam air panas, larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam ammonia encer. Teofilin merupakan obat yang sering digunakan dalam terapi penyakit asma. Teofilin memiliki waktu paruh yang relatif pendek dan indeks terapetik yang sempit yaitu 5-20 μg/ml. Formulasi sediaan lepas lambat diharapkan dapat menghasilkan konsentrasi konsentrasi obat dalam darah yang lebih seragam, kadar puncak yang tidak fluktuatif (Bayomi, 2001).
      Teofilin adalah suatu metilxantin yang awalnya ditemukan pada teh dan mulai diisolasi pada akhir abad ke-19. Sampai saat ini teofilin atau bentuk larutan garam etilen diaminnya (aminofilin) masih menjadi terapi standar untuk penyakit asma, namun efek samping yang ditimbulkan dari penggunaannya, antara lain mual, nyeri kepala, dan diuresis serta yang paling ditakutkan adalah aritmia jantung dan kejang (Barnes, 2006). 
                                              
                                                       BAB III METODE KERJA
3.1 Alat
   Alat-alat yang digunakan dalam melakakan identifikasi, antara lain seperangkat alat KCKT (Thermo Scientific Ultimate 3000), kolom berisi oktadesilsilansa C18 (4,6 x 250 mm, ukuran partikel 5 µm), pengolah data pada komputer DELL, detektor UV (Ultra Violet) panjang gelombang 280 nm, sonikator (Elmasonic S 300 H), hot plate magnetic stirrer (Heidolph), vortex mixer (Thermo Scientific), botol vial tertutup, timbangan analitik (Sartorius CPA2245), kertas saring (Whatman No. 42), millipore sampel 0,45 µm, millipore fase gerak 0,45 µm, labu ukur 10 mL, gelas baker 10 mL, erlenmeyer 1000 mL, labu ukur 1000 mL, pipet volume 1 mL, gelas ukur 1000 mL dan stirrer.
3.2 Bahan 
   Bahan-bahan yang digunakan dalam identifikasi adalah sampel kosmetik sediaan semi padat, teofilin BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia), natrium asetat, aqudes, asam asetat glasial, asetonitril.
3.3 Cara Kerja 
    Pembuatan pelarut dilakukan dengan 2 tahap yaitu dengan pembuatan pelarut A dan pelarut B. Mula-mula pelarut A dibuat dengan cara menimbang 1,36 g natrium asetat, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL kemudian ditambahkan dengan aquades 100 mL, digojog, ditambahkan 5 mL asam asetat glasial lalu diencerkan menggunakan aquades sampai tanda batas (Pelarut A). Pelarut B dibuat dengan cara mengambil 70 mL asetonitril kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 mL dan diencerkan menggunakan pelarut A hingga tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer 1000 mL dan dihomogenkan menggunan hot plate magnetic stirrer selama kurang lebih 8 menit supaya larutan tercampur secara homogen, larutan disaring menggunkan millipore fase gerak dengan ukuran 0,45 µm supaya tidak terdapat kontaminan dalam pelarut (Pelarut B). 
   Langkah selanjutnya yaitu pembuatan larutan baku, pembuatan larutan baku berfungsi sebagai pembanding. Dalam hal ini larutan baku dijadikan sebagai standar uji untuk sampel yang akan dianalisis, dengan cara menimbang sejumlah kurang lebih 10 mg Teofilin BPFI kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dilarutkan dan diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B1). Sejumlah 1,0 mL larutan baku B1 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan pelarut B sampai tanda batas (Larutan B2). Sejumlah 0,5 mL larutan baku B2 dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan pelarut B sampai tanda sehingga diperoleh baku dengan konsentrasi 5 µg/mL. Larutan kemudian disaring menggunakan millipore sampel ukuran 0,45 µm lalu dimasukkan ke dalam botol vial tertutup, selanjutnya dilakukan degas selama kurang lebih 15 menit menggunakan sonikator (Larutan A). 
    Dalam pengujian ini dilakukan preparasi sampel kosmetik sediaan semi padat dengan kode sampel 45 dan 133. Pertama, sampel yang akan diuji dipersiapkan terlebih dahulu. Sampel ditimbang kurang lebih 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker 10 mL, ditambahkan sedikit demi sedikit pelarut B kurang lebih 10 mL sambil diaduk, larutan kemudian dihomogenkan menggunakan vortex mixer agar dapat tercampur secara homogen, lalu disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42, hasil filtrat yang didapat disaring kembali meggunakan millipore sampel dengan ukuran 0,45 µm, selanjutnya dimasukkan kedalam botol vial tertutup yang telah dibilas menggunakan pelarut B. Botol vial yang sudah berisi larutan kemudian di degas menggunakan sonikator selama kurang lebih 15 menit, tujuan dilakukannya degas adalah menghilangkan zat-zat pengotor (misalnya air, mineral, dan zat volatil lainnya) yang masih menempel/ terperangkap pada pori/ permukaan padatan tersebut (Larutan B). 
    Cara Penetapannya yaitu larutan A dan larutan B masing-maisng dimasukkan secara bersamaan dan dilakukan penetapan KCKT (Thermo Scientific Ultimate 3000) dengan kondisi analisis: kolom menggunakan baja tahan karat yang berisi oktadesilsilana C18 (4,6 x 250 mm) dengan ukuran partikel 5 µm, fase gerak yang digunakan adalah asetonitril dengan laju alir 1,0 mL per menit serta volume penyuntikan 20 µL, detektor yang digunakan adalah UV (Ultra Violet) dengan panjang gelombang 280 nm.

                                                       BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 
4.1 Identifikasi Sampel Kosmetika Sedian Semi Padat Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan Detektor UV (Ultra Violet) 
     Pada pengujian yang berjudul Identifikasi Sampel Kosmetika Sediaan Semi Padat Secara KCKT dengan Detektor UV bertujuan untuk mengetahui cara analisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT serta mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. Produk sampel kosmetika sediaan semi padat yang diuji adalah anti-aging, dimana penuaan pada kulit wajah memang selalu menjadi hal yang dikhawatirkan pada setiap wanita. Dengan bertambahnya usia, kondisi kulit ini memang tidak akan sama lagi. Kulit wajah menjadi berkurang kekenyalannya serta akan mulai tampak tanda-tanda penuaan seperti garis-garis halus dan munculnya flek hitam, sehingga banyak wanita yang menginginkan kulit wajahnya menjadi seperti muda kembali dengan menggunakan produk anti-aging yang berguna untuk meremajakan kulit wajah. Formulasi yang digunakan dalam produk anti-aging antara lain Conjugated Linoleic Acid (CLA) yang membantu menstimulasi produksi sel kulit baru. Alpha Hydroxy Acids (AHA) yang membantu mengangkat sel kulit mati. Retinol berfungsi menstimulasi produksi kolagen. Cetyl Alcohol membantu meningkatkan kerja retinol, dan Glycerine yang mampu meningkatkan kelembaban kulit dari dalam sehingga kulit tampak lebih kencang. Namun, terdapat beberapa produsen yang menjual produk-produknya dengan menambahkan bahan kimia obat dalam produk anti-aging. Bahan kimia obat yang digunakan adalah teofilin. Teofilin tidak boleh dimasukkan ke dalam kosmetik karena memiliki efek samping yang berbahaya bagi kulit maupun tubuh sehingga perlu dilakukan identifikasi teofilin pada setiap produk kosmetik antiaging. 
    Sejak tahun 1973, undang-undang Federal AS telah melarang merkuri dalam kosmetik di luar jumlah yang dapat dilacak (1 mg / kg) karena kekhawatiran akan toksisitas (Michael dkk., 2018). Krim pemutih kulit adalah salah satu produk kosmetik populer di kalangan pria dan wanita untuk mendapatkan warna kulit yang lebih terang atau sebagai anti-bintik (Olumide dkk., 2008). Diketahui bahwa aplikasi merkuri sebagai bahan aktif dalam kosmetik pencerah kulit telah diterima selama berabad-abad (Boonchai dkk., 2011). Merkuri dikenal sebagai neurotoksikan, dianggap sebagai salah satu ion logam berat yang sangat beracun. Menurut Food and Drug Administration (FDA), konsentrasi maksimum merkuri dalam kosmetik harus kurang dari 1,0 μg g − 1 (Barel dkk., 2014). Bahkan tingkat konsentrasi merkuri yang diizinkan dalam kosmetik rendah, paparan terus menerus pada kulit dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti kerusakan pada otak, ginjal, usus, dan sistem syaraf (Zahir, 2005). Toksisitas unsur ini pada tingkat rendah akan membuat keresahan terhadap masyarakat sehingga perlu adanya pengembangan berbagai metode analitik selektif dan sensitif untuk mengetahui kadar dari beberapa kandungan bahan berbahaya dalam kosmetik. 
     Metode yang umum digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif teofilin adalah metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau sering disebut dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) karena metode tersebut berguna untuk memisahankan sejumlah senyawa organik, anorganik maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian, analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap, penentuan molekul-molekul netral, ionik maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun kualitatif (Gandjar, 2007). Prinsip KCKT adalah pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan interaksi antara analit dengan fase gerak dan fase diam. Keuntungan dari metode KCKT yaitu memiliki kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, dapat menggunakan berbagai detektor, kolom dapat digunakan kembali, dapat dilakukan pada suhu kamar serta ideal untuk pemisahan ion dan molekul besar (Johnson dan Stevenson, 1991). 
    Maksud dan tujuan analisis menggunakan KCKT yaitu didapatkannya pemisahan yang baik dengan waktu proses yang relatif singkat. Untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan maka diperlukan pemilihan pelarut pengembang yang sesuai dengan komponen yang akan dipisahkan, kolom yang digunakan juga harus diperhatikan dan menggunakan detektor yang memadai. Parameter baik atau tidaknya suatu kromatografi didasarkan pada lima faktor, yaitu waktu retensi, faktor kapasitas, efisiensi kolom, resolusi, dan faktor ikutan. Pada KCKT menggunakan fase gerak cair yang dialirkan melalui kolom yang merupakan fase diam menuju ke detektor. Dalam fase gerak terdapat dua pilihan atau jenis, yaitu isokratik yang hanya menggunakan satu macam fase gerak ataupun gradien yang menggunakan lebih dari satu macam fase gerak. Pada identifikasi ini digunakan fase gerak isokratik yang berupa asetonitril sedangkan fase diam yang digunakan berupa padatan (silica gel) yang ditempatkan pada kolom tertutup. Setelah campuran memasuki kolom, terjadi pemisahan senyawasenyawa yang akan keluar atas dasar kepolaran yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi kekuatan interaksi antara senyawa dengan fase diam. Senyawasenyawa yang kurang kuat akan keluar terlebih dahulu, dan sebaliknya senyawa yang berinteraksi kuat dengan fase diam akan keluar lebih lama. Senyawa yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Dari kromatogram didapatkan hasil waktu retensi (tR) dan luas area/ tinggi puncak. Informasi waktu retensi (tR) digunakan untuk analisis kualitatif sedangkan luas area atau tinggi puncak untuk analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dengan teknik KCKT didasarkan pada perbandingan waktu retensi yang terdapat dalam sampel dengan waktu retensi baku/ standar. Puncak yang muncul dalam kromatogram merupakan puncak komponen teofilin karena yang akan dianalisis adalah kandungan teofilin yang terdapat dalam sampel kosmetika sediaan semi padat. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara perhitungan kadar sampel berdasarkan % area dan konsentrasi menggunakan metode kurva kalibrasi larutan standar. Namun dalam identifikasi ini hanya dilakukan analisis kualitatif karena sampel yang di identifikasi negatif mengandung teofilin. 
     Teofilin memiliki karakteristik yang bersifat polar sehingga memungkinkan dilakukan analisis dengan KCKT menggunakan detektor UV, dengan fase diam menggunakan kolom C18 (4,6 x 250 mm) yang berisi oktadesilsilansa yang bersifat non polar dan fase gerak asetonitril bersifat polar. Fase gerak yang digunakan ialah asetonitril sehingga dapat terjadi elusi karena adanya interaksi teofilin polar dengan fase gerak yang bersifat polar juga. Fase gerak selain berfungsi membawa komponen-komponen campuran menuju detektor, fase gerak juga dapat berinteraksi dengan solut-solut. Sebelum dilakukan pengujian sampel, maka terlebih dahulu dilakukan Uji Kesesuaiaan Sistem (UKS) yang bertujuan untuk memberikan kestabilan serta kesiapan sistem analisa KCKT. Tolak ukur dalam UKS adalah presentase nilai Relative Standart Deviation (RSD) berdasarkan luas area dan waktu retensinya yaitu sebesar tidak lebih dari 2%. UKS dilakukan 6x penyuntikan larutan baku teofilin (dapat dilihat pada lampiran halaman 36). Dilakukan 6x penyuntikan karena tiap kosmetik memiliki standar UKS yang berbeda-beda. Dan pada larutan baku teofilin memiliki standar UKS 6x penyuntikan. Data uji kesesuaian sistem dapat dilihat pada Tabel 4.1. 
                        Tabel 4.1. Data Uji Kesesuaian Sistem KCKT Larutan Baku Teofilin
     Dari hasil perhitungan didapatkan persentase nilai % RSD waktu retensi dan luas area adalah 0,746% dan 0,127%. Dapat disimpulkan bahwa perolehan nilai UKS memenuhi persyaratan karena kurang dari 2%. Dan dapat disimpulkan juga bahwa sistem sudah stabil dan siap digunakan untuk analisa KCKT. 
    Cara pengujiannya yaitu larutan A (baku) dan larutan B (sampel) yang telah dibuat tadi disuntikkan secara bersamaan ke dalam KCKT. Dalam penyuntikan larutan sampel kosmetik dengan kode 45 dan 133, masing-masing dilakukan secara duplo karena di BBPOM terdapat peraturan standar sistem jaminan mutu pada sampel yang mana saat identifikasi menggunakan KCKT harus 2x penyuntikan untuk meyakinkan pada hasil sampel yang akan dianalisis. Dengan menggunakan kolom C18 yang berisi oktadesilsilana dengan ukuran partikel 5µm dan menggunakan fase gerak asetonitril. Kecepatan alir yang digunakan adalah 1,0 mL/menit, volume penyuntikan 20 µL dan dideteksi dengan detektor UV pada pada panjang gelombang 280 nm. Di Laboratorium Kosmetika untuk identifikasi teofilin dalam produk kosmetika sediaan semi padat secara KCKT menggunakan detektor UV karena deteksi komponen sampel didasarkan pada absorpsi sinar ultraviolet. Detektor UV digunakan dalam suatu analisis jika senyawa yang akan dianalisis menerima panjang gelombang maksimum pada rentang 200-800 nm. Detektor UV merupakan detektor yang paling luas digunakan karena sensitivitas dan reprodusibelitasnya yang tinggi serta mudah dalam pengoperasiaannya. Detektor UV dilengkapi dengan pengatur panjang gelombang sehingga panjang gelombang UV yang digunakan dapat dipilih dan disesuaikan dengan jenis cuplikan yang diukur. Walaupun demikian, biasanya panjang gelombang UV yang digunakan adalah pada 254 nm karena kebanyakan senyawa organik menyerap sinar UV pada sekitar panjang gelombang tersebut, tetapi dalam pengujian produk kosmetika sediaan semi padat digunakan panjang gelombang 280 nm karena teofilin dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 280 nm. 
      Dilakukan identifikasi terhadap sampel kosmetika sediaan semi padat yang beredar di pasaran, dengan tujuan untuk mengetahui cara analisis teofilin pada sampel kosmetika sediaan semi padat dengan teknik KCKT serta mengetahui kandungan teofilin yang terdapat pada sampel kosmetika sediaan semi padat. Hasil yang didapat dari sampel yang sudah diidentifikasi dengan KCKT dapat dilihat pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3. 
                                         Tabel 4.2. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 45
     Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 45.01 dan 45.02 yang telah diuji menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin.
                                         Tabel 4.3. Data Uji dengan KCKT Sampel No. 133
      Berdasarkan hasil identifikasi sampel No. 133.01 dan 133.02 yang telah diuji menggunakan KCKT, diperoleh hasil dengan waktu retensi (menit) n.a (not available) dan luas area n.a (not available) yang menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat waktu retensi dan luas area yang sama dengan larutan baku teofilin. 
      Hasil analisis dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang terdeteksi pada larutan sampel (dapat dilihat pada lampiran halaman 37 dan 38) terhadap larutan baku teofilin. Sampel dikatakan positif mengandung teofilin atau tidak, bila waktu retensi dari sampel sama dengan waktu retensi dari larutan baku teofilin. Hasil analisis yang dilakukan terhadap sampel teofilin, diperoleh hasil bahwa sampel tersebut dikatakan negatif mengandung teofilin karena waktu retensi yang didapat pada sampel berbeda dengan dengan larutan bakunya. 
        Berdasarkan hasil penetapan teofilin dengan KCKT diperoleh waktu retensi larutan baku teofilin yaitu 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi sampel uji dengan kode 45 dan 133 yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang yang sama yaitu 280 nm. Hasil waktu retensi dalam sampel yang tidak didapat (n.a) dalam kromatogram menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif mengandung teofilin.
                                                              BAB V PENUTUP 
5.1 Kesimpulan
      Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 
1. Analisis sampel kosmetika sediaan semi padat dapat dianalisis menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) dengan detektor UV (Ultra Violet) dengan panjang gelombang 280 nm. 
2. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan menggunakan KCKT dengan detektor UV (Ultra Violet) dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) sampel kosmetika sediaan semi padat tersebut negatif mengandung teofilin dengan ditunjukkannya tidak terdapat puncak area yang muncul pada waktu retensi standar baku teofilin dan hasil rata-rata waktu retensi pada larutan baku teofilin didapatkan 9,249 menit, sementara untuk waktu retensi dalam sampel yaitu n.a (not available) dengan panjang gelombang yang sama (λ 280 nm). 

                                                       DAFTAR PUSTAKA 
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. 
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. 
Barnes PJ. 2006. Drugs for asthma. British Journal of Pharmacolody. 147: S297– S303. 
Barrel, A.O., Paye, M., Maibach, H.I. 2014. Handbook of Cosmetic Science and Technology. CRC Press: Boca Raton. 
Bayomi, M.A., Al-Suwayeh, S.A., El-Helw, A.M. 2001. Excipient-Excipient Interaction in the Design of Sustained-Release Theophylline Tablets: In Vitro and In Vivo Evaluation. Drug Development and Industrial Pharmacy. Marcel Dekker Inc: New York, 27(6), 499 – 506. 
BPOM RI. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik. Jakarta: 3. 
BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.23.08.11.07517 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika, Direktorat Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta: 20. 
BPOM RI. 2015. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta : 7. 
BPOM RI. 2016. [online] https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/pers/339/PENERTIBA N-KOSMETIKA-IMPOR-ILEGAL-DAN-KOSMETIKAMENGANDUNG-BAHAN-BERBAHAYA-Berantas-Produk-Ilegaldan-Berbahaya-untuk-Keadilan-dalam-Berusaha.html. Diakses hari Jumat, 2 Maret 2018. Pukul 22:39 WITA. 
Boonchai, R., Desomchoke, P., Jamtarachai. 2011. Trend of Contanct Allergy to Cosmetic ingredients in Thais Over a Period of 10 Years. Contact Dermatitis: 65,311. 
Djajadisastra. 2005. Teknologi Kosmetik. Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia: Tangerang. 
Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Jogjakarta. 
Harmita. 2006. Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Departemen Farmasi FMIPA: Universitas Indonesia, 157-165. 
Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGraw Hill: New York, 5778- 586,.